Page 21 - Pengembangan Kebijakan Agraria: Untuk Keadilan Sosial, Kesejahteraan Masyarakat dan Keberlangsungan Ekologis
P. 21

Pengembangan Kebijakan Agraria untuk Keadilan Sosial, Kesejahteraan Masyarakat dan Keberlanjutan Ekologis

            terpinggirkan. Legalisasi asset berkonsekuensi pada komodifikasi
            tanah, melepaskannya dari relasi naturalnya sebagai ruang hidup
            (life space) menjadi komoditas yang bebas ditransaksikan menurut
            mekanisme pasar bebas. Ketimpangan dan kemiskinan bukan akibat
            dari ketiadaan pemilikan (formal) atas sumber daya, melainkan
            disebabkan oleh konsentrasi dan diferensiasi penguasaan tanah
            yang dilancarkan oleh pasar tanah. Pasar tanah dituduh justru
            memunculkan atau memunculkan kembali, menggeser, atau
            merubah konsentrasi penguasaan tanah. Introdusksi kapitalisme
            dianggap sebagai penyebab utama perubahan struktur kesejahteraan
            berdasarkan luasan penguasaan tanah melalui pemilikan modal.
                Negara modern membutuhkan perangkat dasar untuk
            memperbaiki kondisi masyarakat. Kekuasaan dan kepengaturan
            (Li, 2008) yang melekat padanya adalah dasar untuk membangun
            sistem administrasi yang efektif sebagai dasar upaya kontrol dan
            perbaikan kondisi kehidupan masyarakat. Untuk itu, administrasi
            pertanahan adalah sesuatu yang diperlukan, setidaknya untuk
            memberikan kepastian hak dan mengurangi konflik atas dasar
            pemilikan tanah. Sistem ini juga diperlukan negara sebagai bagian
            dari perencanaan pembangunan (Williamson, 2008).
                Diskursus pemberdayaan menuntut pemerintah untuk
            menggunakan pendekatan non-teknokratik dalam implementasi
            kebijakan, termasuk di dalamnya kebijakan pertanahan. Pendekatan
            teknokratik yang dijalankan melalui mekanisme dan prosedur
            birokratik yang seragam dan berorientasi pada pencapaian target
            kuantitatif (top-downism) terbukti justru melepaskan “dimensi
            manusia dalam pembangunan” (Soedjatmoko, 1986). Pendekatan
            ini kini digantikan pendekatan baru yang lebih mengedepankan
            aspek humanistik, dan berangkat dari aspirasi penerima manfaat
            (buttom up). Pendekatan terakhir ini mensyaratkan partisipasi

                                     — 2 —
   16   17   18   19   20   21   22   23   24   25   26