Page 118 - Perjuangan Landreform Masyarakat Perkebunan: Partisipasi Politik, Klaim dan Konflik Agraria
P. 118

106   Tri Chandra Aprianto


            krisis  ekonomi dunia  (1930) melanda  pasar-pasar  internasional,
            dengan  sendirinya  berpengaruh  pada  struktur  agraria  yang paling



            baw  yaitu tanah-tanah perk  Sebagaimana telah disebutkan

            di atas secara sekilas, tidak saja terjadi pengurangan produksi, tapi juga
            sebagian pemilik hak erfpacht mulai mengembalikan tanah-tanahnya
            kepada  masyarakat  dan  meninggalkan  tanah-tanah  perkebunan
            tersebut untuk kembali ke negeri asalnya.

                Pada  periode  ini selain  ditandai oleh  mulai melemahnya
            keberadaan  dan  kekuatan  tuan  kebun  di perkebunan  akibat  dari
            ‘zaman meleset’, tapi juga mulai tumbuh ‘zaman pergerakan’. Sebuah
            zaman dimana kesadaran pergerakan juga mulai masuk ke pelosok-
            pelosok pedesaan. Masyarakat perkebunan di wilayah Karesidenan

            Besuki mulai bersinggungan dengan zaman tersebut. Sebagaimana
            disebutkan  di atas  bagaimana  gerakan  protes  akibat  ketimpangan
            struktur agraria terjadi di daerah Rambipuji yang dipimpin oleh tokoh
            agama. Masyarakat tidak puas dengan kondisi sosial politik yang ada
            dan mulai mengimajinasikan pemimpin yang adil dan mengayomi.
                                                                        28
            Organisasi pergerakan, SI juga  mulai mengembangkan  sayapnya

              wilayah perk  melakukan kasak  pendidikan-

                                                                    29
            pendidikan, selebaran-selebaran, pidato-pidato, dan lain-lain.
                Kemerosotan  produksi komoditi perkebunan   dan  hadirnya
            kesadaran yang menjadi embrio bagi gerakan kebangsaan semakin
            menambah percaya diri masyarakat perkebunan untuk menggarap
            tanah-tanah perkebunan yang ditinggal para pemilik erfpacht-nya.
            Masyarakat perkebunan tetap menanam tanaman perkebunan tapi
            untuk  kebutuhan  pasar  lokal, selain  tanaman  pangan. Sementara
            pihak pemerintah Hindia-Belanda yang mengalami ‘kebangkrutan’
            cenderung membiarkan tanah-tanah perkebunan yang digarap oleh
            masyarakat hingga masa pendudukan Jepang  tahun 1942.


            28  Lihat Sartono Kartodirdjo, Ratu Adil (Jakarta: Sinar Harapan, 1984).
            29  Lihat Takashi Shiraishi, Zaman  Bergerak:  Radikalisme  Rakyat  di  Jawa
                1912-1926 (Jakarta: Graiti, 1997), hlm. 89-90.
   113   114   115   116   117   118   119   120   121   122   123