Page 122 - Perjuangan Landreform Masyarakat Perkebunan: Partisipasi Politik, Klaim dan Konflik Agraria
P. 122
110 Tri Chandra Aprianto
Khusus untuk kekuatan politik Islam, Jepang memiliki
persamaan pandangan dengan pendahulunya (Belanda). Bagi
tentara pendudukan Jepang, Islam tidak saja sebagai suatu agama
yang dianut oleh mayoritas orang di Indonesia, tapi juga memiliki
kekuatan strategis dalam peta politik di Indonesia. Untuk itu,
baik Belanda maupun Jepang sangat berkepentingan dengan
kekuatan politik Islam dalam rangka melanggengkan kekuasaan.
Berangkat dari pandangan tersebut, posisi pesantren dianggap
memiliki peran strategis oleh pemerintah pendudukan Jepang. Pola
hubungan kemasyarakatan yang berbentuk paternalistik antara
masyarakat perkebunan Jember dengan pesantren sebagaimana
telah digambarkan secara sekilas pada bab sebelumnya, sehingga
pemerintah Jepang berkepentingan memfasilitasi elite-elite
pesantren pada masa aw kekuasaannya.
Atas dasar alasan itulah pemerintahan Jepang memfasilitasi
para elite nasional tersebut, khususnya elite politik dari kalangan
muslim Jawa untuk pengalaman baru dan turut
dalam pelatihan kemiliteran. Oleh sebab itu hubungan tokoh-
tokoh dari kalangan muslim dengan pihak Jepang bisa dikatakan
40
lebih baik ketimbang dengan pemerintahan sebelumnya. Peranan
elite pesantren yang sebelumnya hanya menjadi tokoh agama, dan
dalam konteks perkebunan terlibat pengelolaan dan aktif dalam
jalur perdagangan tanaman perkebunan. Pada periode kekuasan
Jepang para elite pesantren banyak yang dijadikan alat propaganda
untuk melanggengkan kekuasaan di Indonesia. Terdapat beberapa
kyai dari Jember terlibat dalam pelatihan-pelatihan yang dilakukan
oleh pemerintah Jepang, Kyai Dhoir (Kalisat), Kyai Ali Darokah,
40 Lihat Martin Van Bruinessen, NU, Tradisi, Relasi-Relasi Kuasa,
Pencarian Wacana Baru(Yogyakarta: LKiS, ), hlm. 52. Hal senada
juga diungkap oleh Sy Ma’arif Islam dan Politik di Indonesia
(Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988), hlm. 21-2. Saifuddin
J
Z KH Wahab Chasbullah; Bapak dan Pendiri NUakarta: Yamunu,
(
1972), 45-6.