Page 119 - Perjuangan Landreform Masyarakat Perkebunan: Partisipasi Politik, Klaim dan Konflik Agraria
P. 119
Perjuangan Landreform Masyarakat Perkebunan 107
B. Periode Pendudukan Jepang
Sebagaimana dijelaskan secara ringkas di atas, pada masa
krisis ekonomi para pemilik hak erfpacht mulai mengurangi
proses produksinya, ada juga yang meninggalkan tanah-tanahnya
garapannya serta membagikannya kepada para buruh dan masyarakat
sekitarnya. Untuk sementara waktu masyarakat perkebunan di Jember
merasakan kebebasan mengolah tanah-tanah yang sebelumnya
terikat dengan aturan perusahaan. Usaha tanaman perkebunan tetap
berjalan, khususnya tembakau dalam rangka pemenuhan kebutuhan
pasar lokal, tidak lagi terikat pada proses produksi yang ketat
karena persyaratan pasar internasional. Kebebasan usaha pertanian
juga dapat dilihat ar persawahan perluasan
117.2 bau hingga tahun 19 Perluasan ar persawahan
itu dilakukan masyarakat guna pemenuhan kebutuhan subsistensi
sep p jagung ket dan tanaman palawija lainnya. 30
Masyarakat perkebunan semakin percaya diri masuk dan
menggarap tanah-tanah perkebunan manakala masuk penguasa
baru, Tentara Jepang (1942). Pada masa awal masyarakat perkebunan
31
sangat bersimpati atas kehadiran pasukan tentara Jepang ke Jawa,
termasuk di Jember. Tampaknya propaganda yang dilancarkan
Pasukan Jepang yakni datang sebagai kekuatan pembebasan bagi
penduduk pribumi dari pemerintahan Hindia Belanda sangat
berhasil. Propaganda tersebut dijalankan secara intensif melalui
radio gelombang pendek, yang itu mampu membangkitkan rasa
kebangsaan orang Indonesia. tampaknya pemerintah militer Jepang
30 Jika dibandingkan dengan tahun 1861 luas areal sawah di Jember baru
7.899 bau. Lihat S Nawiyanto, ‘Perubahan Ekonomi di Jember Masa
Kolonial’, Prisma, Nomor 9 Tahun 1996, hlm. 79.
31 Masuknya Jepang ke Tanah Jawa setalah Angkatan Darat ke-16 Jepang
menaklukkan pemerintah Hindia Belanda dan mendudukinya 8 Maret
1942. Lihat juga Aiko Kurasawa, Mobilisasi dan Kontrol; Studi Tentang
Perubahan Sosial di Pedesaan Jawa 1942-1945 (Jakarta: Grasindo, 1993),
hlm. xxviii.