Page 333 - Perjuangan Landreform Masyarakat Perkebunan: Partisipasi Politik, Klaim dan Konflik Agraria
P. 333
318 Tri Chandra Aprianto
berada dalam ”sangkar emas”, dibiarkan untuk tidak dilaksanakan.
Penyempurnaan kebijakan tersebut sangat penting, tidak saja
perlunya berbagai peraturan turunan untuk pelaksana lapangan,
namun juga perlunya pendekatan kebudayaan. Ada sejumlah
fakta historis yang luput menjadi perhatian yakni faktor budaya.
Pendekatan budaya ini sangat penting karena budaya dasar bangsa
Indonesia bersumber pada hubungan manusia dengan tanah.
Kegagalan memahami budaya akibatnya sangat fatal, terlebih
manakala upaya penataan ulang atas sumber-sumber agraria akan
R waktu aw tahun 1960-an fakta ker
adanya kegagalan dalam memahami budaya manakala pemerintah
akan melaksanakan landreform. Kajian ini menunjukkan
masyarakat perkebunan Jember walaupun merupakan pr
kolonial, akan tetapi ikatan tradisional dengan pesantren sangat
kuat. Pihak kolonial pada masanya, dalam proses transformasi
agrarianya memanfaatkan ikatan tradisional itu guna memperkuat
dominasi struktur agrarianya. Untuk itu bagaimana modus operandi
dari proses kapitalisme yang kemudian mencengkeram masyarakat
melalui rekayasa budaya, menjadi penting untuk dirumuskan
menjadi the new agrarian question bagi studi-studi agraria generasi
selanjutnya.
Selain itu, realitas struktur agraria sekarang berada dalam
situasi dominasi kekuatan seperti masa kolonial. Sebuah realitas
struktur agraria yang memberi gambaran sangat jelas: (i) tidak
menguntungkan rakyat; dan (ii) mengganggu kedaulatan bangsa
dan negara. Oleh sebab itu pertanyaan utama dalam kajian ini
sangat relevan dengan kondisi keagrariaan bangsa Indonesia.
Dalam perspektif kajian ini upaya penataan ulang atas sumber-
sumber agraria yang lebih adil menemukan momentumnya
kembali. Momentum bagi pelaksanaan reforma agraria di Indonesia.
Setidaknya ada tiga faktor pendukung yang dapat memuluskan
momentum dilaksanakannya reforma agraria saat ini. Pertama,