Page 331 - Perjuangan Landreform Masyarakat Perkebunan: Partisipasi Politik, Klaim dan Konflik Agraria
P. 331

316   Tri Chandra Aprianto


            ekonomi politik kalangan tentara dalam melakukan kontrol terhadap
            perusahaan  perkebunan. Lebih  lanjut  keberadaan  perkebunan
            kolonial lepas dari sebagai bagian yang harus masuk dalam agenda
            reforma agraria, justru semakin kokoh keberadaannya karena berada
            dalam perusahaan yang tidak lagi dikelola swasta, tapi merupakan
            bagian dari struktur negara. Memang model ini tidak seperti masa
            kolonial  Hinda  Belanda  dimana  pihak  swasta  sebagai  pengelola,
            tapi merujuk pada sistem masa pendudukan militer Jepang, dimana
            peranan  negara  juga  aktif  mengurus  perkebunan. Kehadiran  elite-
            elite tentara dalam manejerial perusahaan perkebunan merupakan
            kelas sosial baru, dimana sebelumnya tidak pernah berkembang.

                Pada  bab  keenam  dijelaskan  bagaimana  momentum  politik
            hadir  kembali untuk  penataan  ulang atas  sumber-sumber  agraria
            dengan lahirnya UUPA No. 5 1960, tentang pelaksanaan landreform
            di  Indonesia.  Melihat  wilayah  perkebunan  di  Jember  mengenai
            hubungannya  dengan  penataan  ulang atas  sumber-sumber  agraria






            tentu saja pada paruh aw  tahun 1960-an terdapat upaya untuk de-



            proletarisasi dan melahirkan petani yang mandiri. Dalam bab keenam
            dijelaskan bagaimana berlangsung pelaksanaan landreform dengan
            baik  dibeberapa  tanah-tanah  perkebunan  di Jember. Akan  tetapi,
            akibat adanya sikap ambivalensi dari kalangan birokrasi pelaksana
            landreform, ditambah  dengan  ketidaksabaran  PKI dan  BTI dalam



            mendor  percepatan pelaksanaan landreform terjadilah konlik-




            konlik   horiz    pedesaan perk  Hingga akhirny

            pelaksanaan landreform diint  oleh peristiwa berdarah-dar



            tahun 1965-66.
                Akibat  peristiwa  berdarah  tersebut  pelaksanaan  landreform
            dihentikan dengan alasan membuat gaduh kehidupan bermasyarakat
            dan bernegara. Militer semakin menemukan momentumnya untuk
            membuat  stabilitas  kehidupan  di  wilayah  perkebunan  tanpa  ada
            kegaduhan masyarakatnya. Pendekatan yang diambil adalah menata
            struktur  masyarakat  dalam  bentuk  hierarkhi sentralistik, dimana
   326   327   328   329   330   331   332   333   334   335   336