Page 332 - Perjuangan Landreform Masyarakat Perkebunan: Partisipasi Politik, Klaim dan Konflik Agraria
P. 332
Perjuangan Landreform Masyarakat Perkebunan 317
peranan militer sangat menonjol di sini. Untuk melahirkan stabilitas
masyarakat perkebunan tidak saja jajaran direksi perusahaan tidak
saja diisi oleh kalangan militer, tapi juga mengisi kepemimpinan
di daerah, Bupati (1968) dan Ketua DPRD (1971). Sehingga dengan
mudah mengeluarkan masyarakat perkebunan di Ketajek (1974)
yang telah menerima tanah redistribusi tahun 1964.
Pemerintahan Orde Baru berganti total orientasi
pembangunannya dan menjadi sangat anti dengan penataan ulang
atas sumber-sumber agraria yang lebih adil di wilayah perkebunan.
Inilah yang mendasari hadirnya kembali struktur agraria yang
tidak adil. Pada bab ketujuh menjelaskan bagaimana kemudian
struktur agraria kembali seperti era kolonial, dan praktek politiknya
menggunakan pendekatan keamanan seperti masa pendudukan
militer Jepang.
Berdasar uraian di atas, reforma agraria sebagai konsep dasar
pembangunan nasional yang berbasis pada penataan struktur
agraria yang adil tidak berada dalam ruang kosong dan para subyek
pelakunya bukan sebagai sesuatu yang bebas nilai. Reforma agraria
sekaligus sebagai ranah suatu ruang yang diperebutkan oleh orang-
orang yang berkepentingan atas gagasan tersebut, begitu juga para
pelakunya dilingkupi oleh kepentingan sosial, ekonomi, politik, dan
bahkan ideologi. Dalam bab-bab tersebut juga dijelaskan berbagai
faktor penghambat yang perilakunya anti terhadap penataan
ulang atas sumber-sumber agraria yang lebih adil. Setidaknya
faktor penghambat tersebut bersumber pada kultur f w
eksploitatif kolonial Belanda, dan bentuk sentralistik hierarki militer
Jepang.
Untuk itu diperlukan langkah perhatian serius yang tidak saja
berfokus pada penyempurnaan konsepsi reforma agraria hingga
melahirkan kebijakan politik pada tingkat pelaksanaan. Memang
sudah tersedia UUPA No. 5/1960 sebagai kebijakan payung,
namun akibat orientasi pemerintah Orde Baru kebijakan tersebut