Page 133 - Problem Agraria, Sistem Tenurial Adat, dan Body of Knowledge Ilmu Agraria- Pertanahan (Hasil Penelitian Sistematis STPN 2015)
P. 133
Konflik di Perkebunan Eks. HGU PTPN II Sumatera Utara 115
Permasalahan areal lahan HGU diperpanjang seluas 56.341,85 Ha dan
lahan HGU yang tidak diperpanjang seluas 5873,06 Ha serta asset
berupa Bangunan dinas milik PTPN II (Persero)
5. Pada tanggal 14 januari 2015 keluar Surat dari menteri BUMN RI
(Rini M. Soemarno) Nomor S-30/MBU/01/2015 tentang Penyelesaian
permasalahan areal Eks. HGU PTPN II, ditujukan kepada Gubernur
Sumatera Utara.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan
Usaha Milik Negara, Undang-undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang
Perkebunan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak
Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai dan Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Pelepasan Aset berupa
tanah dapat dilakukan apabila didalamnya disertai Ganti Rugi, dan proses
pelepasan Aset adalah sah secara hukum apabila pelepasan aset dilakukan
oleh Kementerian yang berwenang.
Selama tanah tersebut belum dilepas maka tanah tersebut belum
dapat dilakukan inventarisasi dan diberikan hak atas tanah di atasnya
kepada pihak lain. Proses pelepasan asset merupakan awal penguraian
masalah agar dapat diselesaikan, sehingga saat ini adalah bagaimana proses
pelepasan aset bisa segera dilakukan. Permasalahannya adalah instansi-
instansi seperti Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Pemerintah Daerah
Sumatera Utara tidak dapat melakukan intervensi terhadap pelepasan aset.
Secara hierarki lembaga tertingi yaitu Presiden yang dapat memberikan
intervensi terhadap penyelesaian permasalahan pelepasan aset.
Selain pelepasan aset, kondisi real yang ada di lapangan adalah
perluasan terhadap okupasi tanah-tanah perkebunan semakin meluas dan
menyebar di luar tanah eks. HGU PTPN-II. Persoalan ini tentunya menjadi
kendala tersendiri dalam hal penertiban tanah di Deli Serdang, Binjai
dan Langkat. Penertiban tersebut tentunya akan menimbulkan gejolak
dan pertempuran antara masyarakat/pelaku okupasi tanah dengan aparat
penertiban tanah.
Mendasarkan peraturan perundang-undangan dari Kementerian
BUMN yaitu mendasarkan UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN
secara normatif bahwa setiap tanah BUMN harus mendapat ganti rugi,
namun secara kenyataan/real di lapangan berdasarkan hasil penelitian
menunjukkan bahwa PTPN II membiarkan tanah perkebunan tersebut