Page 250 - Problem Agraria, Sistem Tenurial Adat, dan Body of Knowledge Ilmu Agraria- Pertanahan (Hasil Penelitian Sistematis STPN 2015)
P. 250
I Gusti Nyoman Guntur, Dwi Wulan Titik Andari, Mujiati
232
ketentuan konversi UUPA tersebut dapat dijelaskan bahwa:
12
a. Tanah (dan hutan) sudah dikuasai sejak lama oleh masyarakat adat
(individu, keluarga atau komunitas);
b. Oleh karena hutan adat bukan merupakan hutan Negara, sehingga
dapat diasumsikan penguasaan tanah oleh masyarakat adat dapat
diakui sebagai salah satu hak atas tanah;
c. Hak atas tanah sebagaimana huruf b di atas, merupakan kategori hak
lama karena ada sebelum berlakunya UUPA (huruf a);
d. hak sebagaimana huruf b dan c di atas, memiliki kewewenangan
sebagaimana atau yang mirip hak milik (sebagaimana dimaksud pasal
20 ayat (1) UUPA merupakan penafsiran dari “hak-hak lain dengan
nama apapun juga”;
2. Penguasaan Tanah Negara oleh otoritas Kehutanan
Disadari sepenuhnya bahwa kebiasaan masyarakat Indonesia pada
umumnya, maupun masyarakat adat Dayak khususnya dalam klaim
penguasaan tanah menggunakan cara-cara lama yang tentunya sangat
berbeda dengan penguasaan saat ini yang sudah menggunakan bukti-bukti
surat dan ada tanda-tanda batas (tetap) dalam kepemilikan/penguasaan
tanah. Kebiasaan lama dalam penguasaan (awal dan peralihan) atas tanah
masyarakat adat umumnya jarang ada bukti tertulis dan batas-batasnya
hanya didasarkan pada pernyataan penunjukan, misalnya sejauh bunyi
kokok ayam/kentongan terdengar, atau agak lebih jelas dengan adanya
batas-batas alam seperti puncak bukit atau lembah, sungai dan sebagainya.
Terhadap penguasaan ini akan menjadi dilema, apakah memang benar tanah
(hutan) adat sejak semula ataukah sebenarnya sejak semula merupakan
hutan belantara, baru (beberapa tahun) digarap oleh masyarakat adat.
Klaim berdasarkan sejarah penguasaan tanah ini perlu dikaji secara
lebih hati-hati, karena akan sangat menentukan dalam hal penentuan
apakah kawasan hutan itu termasuk status hak-hak lama atas tanah (dan
hak ulayat) atau termasuk tanah Negara yang dikuasai otoritas Kehutanan.
Jika termasuk tanah Negara yang dikuasai oleh otoritas Kehutanan maka
skema penyelesaiannya yaitu pertama, tetap dipertahankan sebagai
12 Berkaitan dengan konversi ini, A.P Parlindungan, 1994, Konversi Hak-hak
Atas Tanah, cetakan kedua, Mandar Maju, Bandung, hal. 6, menyatakan
bahwa terdapat 5 (lima) prinsip yang mendasari dilakukannya konversi, yaitu:
nasional, pengakuan hak-hak atas tanah terdahulu, kepentingan hukum,
penyesuaian pada ketentuan konversi dan status quo hak-hak tanah terdahulu.