Page 62 - MODUL AJAR PENDIDIKAN BERBASIS TEKNOLOGI DAN KOMUNIKASI
P. 62

2. Hoaks, Perundungan dan Konten Negatif Lainnya

                   Konten negatif atau konten ilegal di dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2008
               tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang telah diubah melalui UU Nomor 19

               Tahun 2016 (UU ITE)dijelaskan sebagai informasi dan/atau dokumen elektronik yang
               memiliki  muatan  yang  melanggar  kesusilaan,  perjudian,  penghinaan  atau

               pencemaran  nama  baik,  pemerasan  dan/atau  pengancaman,  penyebaran  berita

               bohong dan menyesatkan sehingga mengakibatkan kerugian pengguna. Selain itu,
               konten  negatif  juga  diartikan  sebagai  substansi  yang  mengarah  pada  penyebaran

               kebencian atau permusuhan berdasarkan suku, agama, ras, dan golongan. Konten
               negatif  muncul  karena  motivasi-motivasi  pembuatnya  yang  memiliki  kepentingan

               ekonomi  (mencari  uang),  politik  (menjatuhkan  kelompok  politik  tertentu),  mencari

               kambing  hitam,  dan  memecah  belah  masyarakat  (berkaitan  suku  agama  ras  dan
               antargolongan/SARA)  (Posetti  &  Bontcheva,  2020).  Beberapa  konten  negatif

               dibeberkan secara singkat di bawah ini.


                   Salah satu konten negatif yang sangat populer belakangan ini di Indonesia adalah
               hoaks.  Berbagai  peristiwa  besar  sering  diiringi  oleh  kemunculan  hoaks,  misalnya

               seperti peristiwa politik, bencana alam, ekonomi, sosial dan kesehatan. Jika kita kilas

               balik,  kehadiran  hoaks  kita  rasakan  pada  tahun  2016-2017  saat  pemilihan  kepala
               daerah (Pilkada) di Jakarta (Rahayu, Utari, & Wijaya, 2019; Supriatma, 2017; Utami,

               2018). Pada masa Pilkada tersebut, hoaks banyak beredar untuk menjatuhkan dan
               memenangkan  masing-masing  calon  pemimpin  kepala  daerah.  Pergerakan  hoaks

               dipermudah oleh penggunaan media sosial yang masif oleh masyarakat.


                   Menurut  Utami  (2018),  pergerakan  hoaks  ditentukan  oleh  keberadaan  media

               sosial. Sebelum ada media sosial, kontrol informasi ada di media massa sehingga ada
               pihak resmi yang menyaring isi informasi. Namun di era media sosial, kontrol informasi

               ini  sepenuhnya  ada  di  tangan  masyarakat.  Sayangnya  kebebasan  akses  ini  tidak

               diimbangi  oleh  kemampuan  pengguna  informasi.  Supriatma  (2017)  mengatakan
               bahwa  hoaks  memanfaatkan  masyarakat  yang  tidak  memiliki  pengetahuan  atau

               awam  dalam  mengelola  informasi.  Maraknya  hoaks  mendorong  Masyarakat
               Telematika (Mastel) melakukan survei di tahun 2017 yang mengungkapkan bahwa

               dari  1.146  responden,  44,3%  menerima  hoaks  setiap  hari.        Sedangkan  17,2%
               menerima lebih dari satu kali dalam sehari. Hoaks yang beredar di masyarakat juga



                                                                                          DIGITAL ETHICS    54
   57   58   59   60   61   62   63   64   65   66   67