Page 7 - Tenggelamnya Kapal
P. 7
1. ANAK ORANG TERBUANG
MATAHARI telah hampir masuk ke dalam peraduannya. Dengan amat pelahan, menurutkan
perintah dari alam gaib, ia berangsur turun, turun ke dasar lautan yang tidak kelihatan ranah
tanah tepinya. Cahaya merah telah mulai terbentang di ufuk Barat, dan bayangannya tampak
mengindahkan wajah lautan yang tenang tak berombak. Di sana-sini kelihatan layar perahu-
perahu telah berkembang, putih dan sabar. Ke pantai kedengaran suara nyanyian "Iloho
gading" atau "Sio sayang", yang dinyanyikan oleh anak-anak perahu orang Mandar itu,
ditingkah oleh suara geseran rebab dan kecapi. Nun, agak di tengah, di tepi pagaran anggar
kelihatan puncak dari sebuah kapal yang telah berpuluh tahun ditenggelamkan di sana. Dia
seakan-akan penjaga yang teguh, seakan-akan stasiun dari setan dan hantu-hantu penghuni
pulau Laya-laya yang penuh dengan kegaiban itu. Konon kabarnya, kalau ada orang yang akan
mati hanyut atau mati terbunuh, kedengaranlah pekik dan ribut-ribut tengah malam di dalam
kapal yang telah rusak itu !
Di waktu senja demikian kota Mengkasar kelihatan hidup. Kepanasan dan kepayahan orang
bekerja siang, apabila telah sofe diobat dengan menyaksikan matahari yang hendak terbenam,
dan mengecap hawa taut, lebih-lebih lagi bila suka pula pergi makan angin ke jembatan, yaitu
panorama yang sengaja dijorokkan ke laut, di dekat benteng Kompeni. Di benteng itulah, kira-
kira 90 tahun yang lalu Pangeran Diponegoro kehabisan hari tuanya sebagai buangan politik.
Sebelah timur adalah tanah lapang Karibosi yang luas dan dipandang suci oleh penduduk
Mengkasar. Menurut takhyul orang [9] tua-tua, bilamana hari akan kiamat, Kara Eng Data akan
pulang kembali, di tanah lapang Karibosi akan tumbuh 7 batang beringin dan berdiri 7 buah
istana, persemayaman 7 orang anak raja-raja, pengiring dari Kara Eng Data. Jauh di darat
kelihatan berdiri dengan teguhnya Gunung Lompo Batang dan Bawa-Kara Eng yang hijau
nampak dari jauh.
Dari jembatan besi itu akan kelihatanlah perkawinan keindahan alam dengan teknik manusia.
Ke laut nampak kecantikan lautan, ke darat kebesaran Allah dan ke sebelah kanan kelihatan
pula anggar baru, anggar dari pelabuhan yang ketiga di Indonesia, sesudah Tanjung Perak dan
Tanjung Periuk.
Di tepi pantai, di antara Kampung Baru dan Kampung Mariso berdiri sebuah rumah bentuk
Mengkasar, yang salah satu jendelanya menghadap ke laut. Di sanalah seorang anak muda
yang berusia kira-kira 19 tahun duduk termenung seorang dirinya menghadapkan mukanya ke
laut. Meskipun matanya terpentang lebar, meskipun begitu asyik dia memperhatikan keindahan
alam di lautan Mengkasar, rupanya pikirannya telah melayang jauh sekali, ke balik yang tak
nampak di mata, dari lautan dunia pindah ke lautan khayal.
Ia teringat pesan ayahnya tatkala beliau akan menutup mata, ia teringat itu, meskipun dia
masih lupa-lupa ingat. Ayahnya berpesan bahwa negerinya yang asli bukanlah Mengkasar,
tetapi jauh di seberang lautan, yang lebih indah lagi dari negeri yang didiaminya sekarang. Di
sanalah pendam pekuburan nenek moyangnya; di sanalah sasap jeraminya.
Jauh ..... kata ayahnya, jauh benar negeri itu, jauh di balik lautan yang lebar, subur dan
nyaman tanamannya. Ayahnya berkata, jika Mengkasar ada Gunung Lompo Batang dan Bawa
Kara Eng, di kampungnya pun ada dua gunung yang bertuah pula; ialah gunung Merapi dan
Singgalang. Di gunung Merapi ada talang perindu, di Singgalang ada naga hitam di dalam
telaga di puncaknya. Jika disebut orang keindahan Bantimurung di Maros, di [10] negerinya ada