Page 11 - Tenggelamnya Kapal
P. 11
2. YATIM PIATU
"TERANGKANLAH, mak, terangkanlah kembali riwayat lama itu, sangat inginku hendak
mendengarnya," ujar Zainuddin kepada mak Base, orang tua yang telah bertahun-tahun
mengasuhnya itu.
Meskipun sudah berulang-ulang dia menceriterakan hal yang lama-lama itu kepada Zainuddin,
dia belum juga puas. Tetapi kepuasannya kelihatan bilamana dia duduk menghadapi tempat
sirihnya, bercengkerama dengan Zainuddin menerangkan hal-ikhwal yang telah lama terjadi.
Menerangkan ceritera itulah rupanya kesukaan hatinya.
"Ketika itu engkau masih amat kecil," katanya memulai hikayatnya, "engkau masih merangkak-
rangkak di lantai dan saya duduk di kalang hulu ibumu memasukkan obat ke dalam mulutnya.
Nafasnya sesak turun naik, dan hatinya rupanya sangat dukacita akan meninggalkan dunia yang
fana ini. Ayahmu menangkupkan kepalanya ke bantal dekat tempat tidur ibumu. Saya sendiri
berurai air mata, memikirkan bahwa engkau masih sangat kecil belum pantas menerima cobaan
yang seberat itu, umurmu baru 9 bulan.
Tiba-tiba ibumu menggamitkan tangannya kepadaku, aku pun mendekat. Kepalaku diraihnya
dan dibisikkannya ke telingaku - sebab suaranya telah lama hilang - berkata: "Mana Udin,
Base!"
"Ini dia, Daeng," ujarku, lalu engkau kuambil. Ah, Zainuddin! Engkau masih tertawa saja waktu
itu, tak engkau ketahui bahwa ibumu akan berangkat meninggalkan engkau buat selamanya,
engkau tertawa dan melonjak-lonjak dalam pangkuanku. Aku bawa engkau ke mukanya. Maka
dibarutnyalah seluruh badanmu [16] dengan tangannya yang tinggal jangat pembalut tulang.
Digamitnya pula ayahmu, ayahmu yang matanya telah balut itu pun mendekat pula. Dia berbisik
ke telinga ayahmu: "Jaga Zainuddin, Daeng."
"Jangan engkau bersusah hati menempuh maut, adinda. Tenang dan sabarlah! Zainuddin
adalah tanggunganku."
"Asuh dia baik-baik, Daeng, jadikan manusia yang berguna. Ah ... lanjutkan pelajarannya ke
negeri Datuk neneknya sendiri."
"Dua titik air mata yang panas mengalir di pipi ibumu, engkau ditengoknya juga tenang-tenang.
Setelah air matanya diseka ayahmu, maka dia mengisyaratkan tangannya menyuruh membawa
engkau agar jauh dari padanya, agar tenang hatinya menghadapi sekaratil maut.
Tidak berapa saat kemudian, ibumu pun hilanglah, kembali ke alam baqa, menemui Tuhannya,
setelah berbulan-bulan berjuang menghadapi maut, karena enggan meninggalkan dunia sebab
engkau masih kecil."
Air mata Zainuddin menggelanggang mendengarkan hikayat itu, Mak Base meneruskan pula.
"Bingung sangat ayahmu sepeninggal ibumu. Mereka belum lama bergaul, baru kira-kira 4
tahun, dan sangat berkasih-kasihan. Sekarang kudrat Allah merampas ibumu dari tangannya.
Hampir dia jadi gila memikirkan nasib yang menimpa dirinya. Kerap kali dia termenung seorang,
kerap dia pergi berziarah di waktu matahari hendak turun ke kuburan ibumu di Kampung Jera.