Page 13 - Tenggelamnya Kapal
P. 13
pula mau hendak membawamu ke Padang, karena hati keluarga belum dapat diketahui, entah
suka menerima anak pisang orang Mengkasar, entah tidak.
Karena kabarnya adat di sana berlain sangat dengan adat di Mengkasar ini.
Kerap kali dia menengadahkan matanya ke langit sambil membuaikan engkau di waktu engkau
kecil. Dibuaikannya dengan lagu "Buai Anak" cara Serantih, yang meskipun mamak tak pandai
bahasa Padang, bulu roma mamak sendiri berdiri mendengarnya. [19]
"Hanya dua untuk mengobat-obat hati, Base," katanya kepada mamak. "Pertama membaca Al-
Qur-an tengah malam, kedua membuaikan si Udin dengan nyanyian negeri sendiri, negeri
Padang yang kucinta. Amat indah negeri Padang, Base, pelabuhannya terliku bikinan Tuhan
sendiri, di tengah-tengah tampak pulau Pandan, hijau dilamun alun, yaitu di balik Pulau Angsa
Dua. Itulah yang dipantunkan nenek moyangku, dan bila menyebut pantun itu saya teringat
kepada Habibah:
Pulau Pandan jauh di tengah,
di balik pulau Angsa Dua.
Hancur adik dikandung tanah,
rupa adik terkenang jua.
Rupanya kudrat Ilahi tidak mengizinkan ayahmu menunggumu sampai besar. Karena di waktu
engkau sedang cepat bermain, di waktu sedang enak mengecap nikmat kecintaan ayah dan
kecintaan ibu, terkumpul ke dirimu dari ayahmu seorang, ayahmu meninggal dunia.
Meninggalnya seakan-akan terbang ke langit saja, dengan tidak tersangka-sangka. Pada suatu
malam, petang Kamis malam Jum'at, sedang dia duduk di atas tikar sembahyangnya, bertekun
sebagai kebiasaannya, meminta taubat dari segenap dosa, dia meninggal. Ketika itu engkau
telah pandai menangis dan bersedih, engkau meratap memanggil-manggil dia.
Rupanya beberapa bulan sebelum mati sudah ada juga gerak dalam hatinya bahwa dia takkan
lama hidup lagi.
Sehingga dia pemah berkata: "Kalau saya mati pula, bagaimana Zainuddin, Base?"
"Saya yang akan mengasuhnya, Daeng," jawabku.
"Ya, tapi harta peninggalanku agaknya tidak banyak, tentu Udin memberati engkau."
"Jangan bicara demikian, Daeng. Apa yang aku makan, itulah yang akan dimakan Zainuddin."
Pada suatu hari, dipanggilnya mamak dan diserahkannya [20] serencengan anak kunci seraya
berkata: "Mulai sekarang engkaulah yang berkuasa di sini, Base. Kunci ini engkau yang
memegang. Kunci putih ini, ialah kunci almari. Sebuah peti kecil ada dalam almari itu. Peti itu
tak boleh engkau buka, kecuali kalau saya mati." Petaruhnya itu mamak pegang baik-baik dan
teguh. Setelah dia wafat barulah peti itu mamak buka, di sana ada sehelai surat kecil dengan
tulisan huruf Arab: "Pengasuh Zainuddin sampai dia besar." Itulah bunyi tulisan itu.
Di dekat surat tersebut ada segulung wang kertas dari Rp. 1000,-. Itulah yang mamak
pergunakan untuk mengasuhmu, penyampaikan sekolahmu, sehingga sekarang engkau
berkeadaan begini ......."