Page 16 - Tenggelamnya Kapal
P. 16
kepada yang tinggal. Mamak tetap tinggal di Mengkasar, sebab akan kembali ke Bulukumba
terlalu sia-sia." [23]
Heran tercengang pula mak Base mendengarkan putusan Zainuddin atas harta benda itu.
Tidak disangkanya akan sampai demikian baik budinya. Dari bermula dia telah bermaksud
hendak menyerahkan segala harta benda itu. Hari mudanya dibawanya ke Mengkasar, dan
dengan uban yang telah tumbuh dia hendak pulang ke Bulukumba menemui keluarga yang
masih ada, dalam keadaan miskin pula. Tetapi putusan Zainuddin keras dan tak dapat dibantah.
Pukul 5 sore, kapal akan berlayar menuju Surabaya, Semarang, Jakarta, Bengkulu dan Padang.
Seketika akan berlayar, mak Base mengantar sampai ke kapal. Mereka bertangis-tangisan,
karena berat sangka mak Base bahwa Zainuddin tidak akan bertemu dengan dia lagi.
"Berhentilah menangis, mamak, jangan sampai tangis mamak meragukan saya menempuh
lautan yang begini luas. Ingatlah bahwa maksudku amat besar."
"Saya orang tua, Udin, hatiku tak dapat kutahan. Apakah derma seorang perempuan selain dari
tangis? Apalagi kerap kali hati mamak berkata, agaknya kita tidak akan bertemu lagi. Cobalah
lihat punggungku yang telah bungkuk. Mamak takut, kalau-kalau keluarga di Padang tak sudi
menyambutmu dengan baik."
"Ah, masa ..... itu cuma was-was mamak saja. Bukankah saya anak Pandekar Sutan yang sah?"
"Ya, tapi kata orang adat Padang lain."
"Mamak jangan panjang was-was. Pepatah orang Mengkasar sudah cukup: 'anak laki-laki tak
boleh dihiraukan panjang, hidupnya ialah buat berjuang, kalau perahunya telah dikayuhnya ke
tengah, dia tak boleh surut palang, meskipun bagaimana besar gelombang. Biarkan kemudi
patah: biarkan layar robek, itu lebih mulia daripada membalik haluan pulang'."
Peluit kapal berbunyi, pengantar turun, air mata mak Base masih membasahi pipinya. Dan tidak
berkaa lama kemudian, [24] rengganglah kapal dari pelabuhan Mengkasar, hanya lenso (sapu
tangan) saja yang tak berhenti dikibarkan orang, baik dari darat atau dari laut. Meskipun kapal
renggang, Zainuddin masih berdiri melihat pelabuhan, melihat pengasuhnya yang telah
membesarkannya bertahun-tahun, tegak sebagai batu di tepi anggar, walaupun oran lain telah
berangsur pulang. Lama-lama hilanglah pulau Laya-laya, ditengoknya ke tepi, jelas nian olehnya
rumah tempat dia dilahirkan, sunyi dan sepi, di tepi laut dekat Kampung Baru. Kemudian itu
hilang Galesong, hilang Gunung Bawa Kara Eng, hilan puncak Lompo Batang, dan Malino telah
dilingkungi kabut. Dia pergi ke buritan sebelah lagi, dilihatnya matahari telah turun ka Barat,
menyelam ke batik lautan, dan mega merah telah mula berarak bertatah ratna mutu manikam
layaknya di tepi langit di Timur dan di Barat.
Sebentar lagi, warna merah itu dikalahkan oleh bala tentara malam. Dari jauh masih kelihatan
lampu-lampu di pelabuhan Makasar, diantara ada dengan tidak, laksana perayaan anak
bidadari, bayangannya memukul ke atas permukaan laut.
Hilang kebesaran Sang Surya, maka dari balik puncak Lompo Batang yang antara ada dengan
tidak itu terbitlah bulan 15 hari menerangi seluruh alam, memberikan cahaya bagi kota
Mengkasar yang indah, kota yang penuh dengan riwayat dan sejarah. Tempat kebesaran
Maharaja Hasanuddin Awwalul Islam, Mantiro ri agamanna, raja yang mula-mula menyiarkan
kalimat syahadat dibuta Jumpandang (tanah Mengkasar), menerima pusaka dari pada Datuk
Tirro, Datuk ri Bandang dan Datuk Pa timan ...…