Page 19 - Tenggelamnya Kapal
P. 19

sebuah surau [27] kecil, gelarnya Datuk Panduka Emas, dia hanya tercengang-cengang saja
               sambil berkata: "Oh ..... rupanya si Amin ada juga meninggalkan anak di Mengkasar."
               Cuma sehingga itu pembicaraan orang tua itu, dan tidak ada tambahnya lagi. Dia tak kuasa
               hendak menahan cucunya tinggal dengan dia, sebab mesti mupakat lebih- dahulu dengan
               segenap keluarga. Padahal sedangkan fihak si Amin Pandekar Sutan, sudah jauh perhubungan
               keluarga, apalagi dengan anak yang datang dari "Bugis" ini.

               Sekali itu saja Zainuddin datang kepada neneknya setelah itu tidak lagi. Dan neneknya pun
               tidak pula memesan-mesankan dia.

               Hatinya telah mulai jemu. Maka terbayang-bayanglah kembali di ruang matanya kota
               Mengkasar, kota yang indah dan penuh dengan peradaban, terbayang kembali lautan dengan
               ombaknya yang tenang, perahu Mandar, kapal yang sedang berlabuh, sehingga mau dia
               rasanya segera pulang, bertemu dengan mak Basenya yang tercinta.
               Tetapi .......... ya tetapi kehendak yang Maha Kuasa atas diri manusia berbeda dengan
               kehendak manusia itu sendiri. Zainuddin telah jemu di Minangkabau, dan dia tidak akan jemu
               lagi, karena tarikh penghidupan manusia bukan manusia membuatnya, dia hanya menjalani
               yang tertulis.

               Tidak berapa jauh dari rumah bakonya itu, ada pula sebuah rumah adat yang indah dan kokoh,
               menurut bentuk adat istiadat Minangkabau, bergonjong empat, beratap ijuk dan bertatahkan
               timah. Di ujung kedua pihak ada anjung-peranginan,        serambi muka bergonjong pula,
               lumbung 4 buah berlerat di halaman. Halamannya luas, tempat menjemurkan padi yang akan
               ditumbuk. Pada buatan rumah, pada symbool pedang bersentak yang terletak di bawah
               gonjong kiri kanan, menandakan bahwa orang di rumah ini amat keras memegang adat
               lembaga, agaknya turunan Regen atau tuan Gedang di Batipuh, yang terkembang di Batipuh
               Atas dan Batipuh Baruh. [28]

               Meskipun adat masih kuat, namun gelora pelajaran dan kemajuan agama yang telah
               berpengaruh di Sumatera Barat, tidak juga melepaskan rumah adat yang kokoh itu dari
               cengkeramannya. Meskipun kehendak dari mamak yang tua-tua hendak menahan juga anak-
               kemenakan yang perempuan menuntut ilmu, namun halangan itu sudah percuma saja. Gadis-
               gadis seisi rumah itu, yang selama ini turun sekali sejum'at diiringkan dayang-dayang banyak,
               sekarang telah mengepit kitab, melilitkan selendang pula, pergi menuntut ilmu. Ada yang ke
               Ladang Lawas, ada yang ke Gunung, dan ada juga yang ke Padang Panjang.
               Hayati, gadis remaja puteri, ciptaan keindahan alam, lambaian gunung Merapi, yang terkumpul
               padanya keindahan adat istiadat yang kokoh dan keindahan model sekarang, itulah bunga di
               dalam rumah adat itu. Hayati, adalah nama baru yang belum biasa dipakai orang selama ini.
               Nama gadis-gadis di Minangkabau tempo dahulu hanya si Cinta Bulih, Sabai nan Aluih, Talipuk
               Layur dan lain-lain. Tetapi Hayati, adalah bayangan dari perobahan baru yang melingkari alam
               Minangkabau yang kokoh dalam adatnya itu.
               Wahai, dari manakah pengarang yang lemah ini akan memulai menceriterakan sebab-sebab
               Hayati berkenalan dengan Zainuddin? Apakah dari sebab mereka kerap kali bertemu di bawah
               lindungan keindahan alam? Di sawah-sawah yang bersusun-susun? Di bunyi air mengalir di
               Batang Gadis menuju Sumpur? Ataukah dari dangau di tengah sawah yang luas, di waktu
               burung pipit terbang berbondong? Atau di waktu habis menyabit, di kala asap jerami menjulang
               ke udara, dan awan meliputi puncak Merapi yang indah? Atau di waktu kereta api membunyikan
   14   15   16   17   18   19   20   21   22   23   24