Page 24 - Tenggelamnya Kapal
P. 24

"Nama kemenakanku ini Hayati, dia sekarang sudah tammat kelas S di sekolah agama, ini
               adiknya, si Ahmad, baru tiga tahun bersekolah."
               "Ya engku, kemarin saya bertemu dengan dia di Ekor Lubuk, ketika dia kembali dari Padang
               Panjang, kehujanan ........" "Dipinjaminya saya payung, sampai dia sendiri berbasah ku - yup
               pulang" sela Hayati, lalu diceritakannya pertolongan itu. sejak dari awal keakhimya.
               "Ah berbudi sekali engkau Zainuddin."
               "Engku pun serupa pula dengan Hayati, barang yang kecil itu dibesar-besarkan. Padahal itu
               hanya suatu kewajiban."
               Hayati merasa tersindir, ia ingat suratnya. Dan Datuk ...... menjawab, sambil menaikkan pisang
               bertumbuk ke dalam mulutnya: "Tidak Zainuddin, meskipun hal itu engkau pandang perkara
               kecil, bagi yang menerima budi, hal itu dipandang besar artinya. Apalagi engkau anak pisang
               kami."

               Demikianlah seketika lohor hampir habis, orang tua itu pun pulanglah ke rumahnya, diiringkan
               oleh kedua cucunya. Zainuddin sendiri seketika akan bercerai-cerai, dilihatnya Hayati
               tenangtenang, satu suara pun tak dapat keluar dari mulutnya.
               Mulut yang demikian ganjil lakunya, dia tak kuasa berkata sepatah jua apabila berhadapan,
               tetapi kaya dengan perasaan apabila duduk seorang diri. [36]

               Setelah itu dia pulang, dari jauh masih dilihatnya ketiga oran itu mengayun langkah diantara
               pematang dan beberapa sawah yan belum disabit padinya.

               Dilihatnya sekali lagi alam yang sekelilingnya, tiba-tiba dari sedikit ke sedikit, wajah alam itu
               pun bertukarlah pada penglihatannya dari yang biasa. Air yang mengalir seakan-akan bernyanyi
               bunyi puput anak gembala seakan-akan penghibur, deru angin di telinga seakan-akan
               menghembuskan harapan baru. Orang-orang yang ditemuinya di tengah jalan, bila
               menyapanya, dijawabnya sapa orang itu, tetapi setelah kira-kira sepuluh langkah orang ia pergi,
               baru dia ingat kembali.
               Dia pulang ke rumah bakonya. Setelah sore dia kembali ke suraunya.

               Mengapa sudah 2 hari dia merasai dirinya seakan-akan orang demam? Apakah penyakitnya?
               Bertanya di dalam hati, dimasukkannya tangannya ke dalam sakunya, tiba-tiba terasa olehnya
               sepucuk surat. Dadanya berdebar, dia teringat isi surat itu, teringat nama yang mengirimnya
               ...... Hayati, kehidupanku!
               Sekarang: terbukalah rahasia dari penyakit itu. Dia bukan kebingungan, bukan kegilaan, bukan
               keputusan harapan, bukan apa-apa, bukan .....! Penyakit ini telah terang namanya. Penyakit,
               tetapi nikmat; nikmat tetapi penyakit. Orang ditimpanya, tetapi orang itu tidak hendak sembuh
               dari padanya ......... penyakit: cinta!
               Pertemuan di sawah itu, amat besar artinya buat menciptakan penghidupan kedua hamba
               Tuhan itu. Kedua pertemuan itulah asal ceritera yang menyedihkan ini.
               Sejak Zainuddin berkenalan dengan Hayati, dia tidak merasa sunyi lagi di tanah Minangkabau
               yang memandangnya orang asing itu. Minangkabau telah lain dalam pemandangannya
               sekarang, telah ramai, telah mengalirkan pengharapan yang baru dalam hidupnya. Di sindah
               kedua makhluk itu mempersambungkan tali [37] jiwa, sebelum mempersambungkan mulut.
               Keluhan dan tarikan nafas yang panjang, kegugupan menentang muka orang yang dihadapi,
               telah cukup menjadi lukisan dari pada kata-kata hati.
   19   20   21   22   23   24   25   26   27   28   29