Page 27 - Tenggelamnya Kapal
P. 27

luas di mukanya. Demi, setelah sampai kepada yang kelihatan itu, danau itu pun hilanglah,
               berganti dengan pasir semata-mata, hening dan panas!
               Hayati, berulang saya menanggung perasaan begini, seorang pun tidak ada tempat saya
               mengadu. Saya tidur di surau bersama-sama teman. Mereka ketawa, bersenda gurau, tetapi
               bilamana kuhening kupikirken, emas tidak juga dapat dicampurkan dengan loyang, sutera
               tersisih dari benang. Saya telah mengerti segera bahasa Minangkabau meskipun dekat mereka
               saya seakan-akan tak faham. Dari isyarat dan susun kata, dapat juga kuketahui, bahwa
               derajatku kurang adanya Bakoku sendiri tidak mengaku saya anak pisangnya, Sebab rupanya
               ayahku tak mempunyai saudara yang karib. Mereka bawa saya menumpang selama ini, karena
               dipertalikan bukan oleh budi bahasa, tetapi oleh wang; sekali lagi Hayati, oleh wang!

               Mengapa hal ini saya adukan kepadaimu, Hayati?
               Itu pun saya sendiri tak tahu, cuma hati saya berkata, bahwa engkaulah tempat saya
               mengadu...............
               Hayati! Terimalah pengaduanku ini, malangku ini.
               Terimalah ini, perkenankanlah seruan dari hati yang daif, hati seorang makhluk yang dari masa
               dalam kandungan ibu telah ditunggu oleh rantai yang bertali-tali dari kemalangan.
               Ayahku telah mati, dan ibuku demikian pula Bakoku tak mengakui aku keluarganya. Di
               Mengkasar hanya tinggal seorang ibu angkat. Dalam pergaulan, saya disisihkan orang. Saya tak
               hendak membunuh diri, karena masih ada pergantungan intan dengan Yang Maha Kuasa dan
               ghaib, bahwa di balik kesukaran ada menunggu kemudahan. Di dalam khayalku dan dalam
               kegelap gulitaan malam, tersimbahlah awan, cerahlah langit dan kelihatanlah satu bintang,
               bintang dari pengharapan untuk menunjukkan jalan. Bintang itu ........... ialah: kau serdiri,
               Hayati!

               Bagaimana maka hati saya berkata begitu? Itu pun saya tak tahu. [41] Lantaran tak tahu
               sebabnya itu, timbul kepercayaan kepada kuasa ghaib yang lebih dari kuasa manusia, kuasa
               ghaib itulah yang menitahkan ...........
               Saya tahu juga sedikit-sedikit adat negerimu yang kokoh. Agaknya buruk saya berkirim surat ini
               dalam pemandangan umum.
               Tapi, saya tak akan mengganggu adatmu, tak akan mengganggu dirimu sendiri, tak akan
               menyintuh kebesaran dan susunan rasam basi orang Minangkabau. Saya tahu dan insaf siapa
               saya. Saya kirimkan surat ini tidaklah minta dibalas, hanyalah semata-rata mengadukan hal.
               Nyampangku mati, janganlah kumati dalam penyesalan. Dan saya pun yakin, tangan yang
               begitu halus, rata yang penuh dengan kejujuran itu, tidak akan sampai mengecewakan hati
               yang telah penuh dengan kecewa sejak sejengkal dari tanah. Terimalah saya menjadi
               sahabatmu yang baik, Hayati. Supaya dapat saya mengadukan hal-halku, untuk mengurangi
               tanggungan hati. Sebab memang sudah biasa kegembiraan dapat ditelan sendiri-sendiri dan
               kemalangan menjadi kurang, bila dikatakan pada orang lain.
               Sudikah engkau jadi sahabatku Hayati? Saya akui, saya orang dagang melarat dan anak orang
               terbuang yang datang dari negeri jauh, yatim dan piatu. Saya akui kerendahan saya. Itu
               agaknya yang akan menangguhkan hatimu bersahabat dengan daku. Tapi Hayati, meskipun
               bagaimana, percayalah bahwa hatiku baik. Sukar engkau akan bertemu dengan hati yang
               begini, yang bersih lantaran senantiaw dibasuh dengan air kemalangan sejak lahirnya ke dunia!
   22   23   24   25   26   27   28   29   30   31   32