Page 28 - Tenggelamnya Kapal
P. 28
Zainuddin.
Surat itu rupanya diperbuat dengan jiwa, bukan dengan tangan. Apa yang bergelora di dalam
sanubari, ditumpahkan di kertas. Dan bagi yang membaca, tentu jiwanya pula yang kena.
Gemetar kedua belah tangan Hayati membaca surat yang demikian. Dibacanya, tiba-tiba
dengan tidak disadarinya, air mata telah mengalir di atas pipinya yang montok membasahi
bantal kalanghulunya. Terbayanglah di hadapannya wajah Zainuddin yang muram, keluh yang
senantiasa mengandung rahasia dalam. Yakinlah dia bahwa gerak dan bisik jantungnya
bilamana melihat Zainuddin selama ini rupanya bukanlah gerak sembarang, tetapi [42] adalah
gerak ilham, gerak jiwa yang bertali dengan jiwa, gerak batin yang bertali dengan batin.
Disekanya air mata yang mengganggu kemontokan pipi itu, dia kembali duduk di pinggir
pembaringan, ditengadahkannya mukanya ke langit, sambil berseru seorang dirinya, yang
hanya didengar oleh malaikat penjaga malam: "Ya Ilahi, berilah perlindungan kepada hamba-
Mu! Perasaan apakah namanya ini, ya Tuhanku, tunjukkan ya Tuhan, dan nyatalah sudah
kelemahan diriku! Apalah pertolongan yang akan dapat kuberikan. Dia meminta budi kepadaku,
aku hanya Tuhan takdirkan menjadi perempuan, jenis yang lemah. Tidak ada kepandaianku,
hanyalah menangis!
Tuhanku, benar ..... sebenar-benarnya hamba-Mu ini kasihan kepada makhluk yang malang itu,
dan oh Tuhanku! Hamba sayang akan dia, hamba ...... cinta dia!
Jika cinta itu satu dosa, ampunilah dan maafkanlah! Hamba akan turut perintah-Mu, hamba tak
akan melanggar larangan, tak akan menghentikan suruhan. Akan hamba simpan, biarlah orang
lain tak tahu, tetapi izinkan hamba ya Tuhan."
Demikianlah, hampir seluruh malam Hayati karam di dalam permohonannya kepada Tuhan,
supaya Tuhan memberi perlindungan dan tujuan di dalam hidupnya, sebab sangat sekali surat
Zainuddin mempengaruhi jiwanya. la merasa dirinya dalam gelap, dia meminta cahaya.
Bennacam-macam perasaan yang bergelora hebat semalam itu dan jiwanya, ganjil, beraneka
wama; bercampur di antara cinta dan takut, kesenangan pikiran dan kesedihan, bertempur di
antara pengharapan yang besar dan cita-cita yang rasakan patah. Dalam dia menangis, tiba-tiba
berganti dengan tersenyum. Dalam tersenyum dia kembali mengeluh panjang. Mengapa dia
menangis? Entahlah, dia sendiri pun masih ragu. Apa sebab dia tersenyum? Padahal biasanya
senyuman dengan air mata itu adalah dua yang bermusuh yang tak mau berdamai. Mengapa
sekali ini dia damai? [43]
Jam di ruang tengah telah berbunyi 2 kali, hanya detiknya dan bunyi jengkerik di sudut rumah
yang memecahkan kesunyian malam. Dalam keadaan yang demikian, Hayati tertidur.
Ada pun yang berkirim surat, Zainuddin, lain pula halnya. Meski pun anak-anak muda di surau
tempatnya tidur telah berlayar dalam lautan mimpi yang enak, bahkan kadang-kadang kesepian
itu dipecalikan oleh dengkur 2 atau 3 orang anak-anak, dia masih bermenung melihatkan bulan
terang benderang, bulan di antara tanggal 15 dengan 16, muram dan damai. Bermenung di
beranda surau seorang dirinya, tidak merasai takut dan gentar. Diperhatikannya langit yang
jernih itu, seakan-akan dia mengajak bulan bercakap,mengajak bintang bercengkerama. Dia
ajak alam besar itu bertutur, percakapan jiwanya sendiri, seakan-akan mengadukan nasibnya
yang malang, yang patut alam itu ikut meratapinya, atau seakan-akan memberitakan bahwa
hatinya tidak sesedih daliulu lagi, sebab Tuhan telah memberinya nikmat yang paling besar,
yaitu nikmat cinta. Bertahun-tahun dia. laksana seorang yang kehilangan, sekarang barang yang