Page 26 - Tenggelamnya Kapal
P. 26
Sebenarnya, dia amat kasihan melihat nasib Zainuddin orang jauh itu. Di sini tak mempunyai
kerabat yang karib, dan ayahnya pun telah meninggal pula. Akan pulang ke Mengkasar, hanya
pusaka ayah bunda yang akan ditepati. Sikap Zainuddin yang lemah lembut, matanya penuh
dengan cahaya yang muram, cahaya dari tanggungan ba-tin yang begitu hebat sejak kecil, telah
menimbulkan kasihan yang amat dalam di hati Hayati. Dan cinta, adalah melalui beberapa
pintu. Ada dari pintu sayang, ada dari pintu kasih, ada dari pintu rindu, tetapi yang paling aman
dan kekal, ialah cinta yang melalui pintu kasihan itu.
Sudah lama dia menunggu-nunggu suatu kalimat saja pun cukuplah, keluar dari mulut
Zainuddin, baik tepat atau pun sindiran, yang dapat dipegangnya, cukuplah satu kalimat itu bagi
nya. Tetapi cinta pertama adalah langkah bermula dari penghidupan. [39] Orang hanya pintar
jika duduk seorang, dan bingung jika telah berhadapan. Yang mendalamkan luka hati adalah
perasaan yang selalu terkurung, tak ada sahabat karib yang dapat dipercayai untuk
menumpahkan perasaan itu.
Tiba-tiba, pada suatu hari, di waktu matahari hendak terbenam ke Barat, di waktu perempuan-
perempuan telah pulang dari pancuran mengisi parian betungnya, Hayati bertemu dengan
Zainuddin di liku jalan.
"Ai ....... Tuan Zainuddin di sini."
"Ya, di sini, menunggumu."
"Menunggu saya?" tanya Hayati, sedang dadanya mulai berdebar. "Apakah maksudnya, lekaslah
terangkan, supaya saya segera pulang."
"Saya pun takut pula akan mengganggu perjalananmu. Engkau saya tunggu hanya sekedar
hendak memberikan ini." - lalu dikeluarkannya sepucuk surat dari sakunya, diberikannya ke
tangan Hayati. Ketika memberikan itu jari-jarinya kelihatan gemetar.
Tengah Hayati masih bingung berdiri, memegang buli-buli yang ada dalam tangannya,
Zainuddin berangkat dari tempat itu secapat-cepatnya.
Hayati segera pulang. Sehabis sembahyang dan makan malam, segera dia naik ke atas anjung
ketidurannya, membaca di dekat sebuah lampu dinding!
Sahabatku Hayati
Gemetar, Encik! Gemetar tanganku ketika mula-mula menulis surat ini. Hatiku memaksaku
menulis, banyak yang terasa, tetapi setelah kucecahkan penaku ke dawat, hilang akalku, tak
tentu dari mama harus kumulai.
Sudan hampir setahun saya tinggal di negeri tumpah darah nenek moyangku ini Oh, Hayati.
saya telah dibuaikan oleh mimpi dahulunya, oleh kuatnya bekas dendang dan nyanyian ayahku
seketika saya masih dalam pangkuannya. Tanahmu yang indah, bahkan tanahku juga,
Minangkabau, senantiasa berdiri dalam semangatku. Sehingga sejak saya tahu menyebut nama
negeri Padang, tanah ini telah terbayang dalam khayalku. [40]
Angan-angan dan khayal yang demikianlah yang menyampaikan langkahku kemari Sebab di
negeri Mengkasar sendiri saya dipandang orang Padang, bukan orang asli Bugis atau
Mengkasar. Sebab itu di sana saya rasa senantiasa dalam kesepian.
Sekarang saya datang kemari, Hayati. Tak obahnya dengan seorana musafir di tengah gurun
yang luas keputusan air; tiap-tiap langkah dilangkahkannya tampak juga olehnya danau yang