Page 29 - Tenggelamnya Kapal
P. 29
dicari itu telah dapat kembali. Barang yang hilang itu paling mahal, dan berharga, ialah "hati"
yang hilang separo seketika bundanya mati, habis separo lagi setelah ayahnya rreninggal.
Sekarang "hati" itu telah kembali, sebab ..... mencintai Hayati!
Tiba-tiba, timbul pulalah seruan dari jiwanya kepada Tuhan yang melindungi seluruh alam,
diserukannya di waktu tengah malam demikian, di waktu segala do'a makbul. "Pujianku tetaplah
pada-Mu ya Ilahi! Saya telah beroleh hidup, hidup yang saya kenang-kenangkan. Saya telah
beroleh seorang perempuan tempat saya mengadukan hal. Perempuan yang budiman, adalah
laksana matahari yang terbit di waktu fajar bagi orang yang menunggu kedatangan siang.
Perempuan adalah laksana surat jenderal yang dikirim dari medan perang menyatakan
kemenangan kepada raja yang mengutusnya. Dia adalah sebagai udara, tampang kehidupan
yang akan dihisap oleh manusia dalam nafasnya yang turun naik." [44]
Maka dalam malam yang hening itu, naiklah dua do'a permohonan ghaib, permohonan dari dua
makhluk yang lemah dan memohon persandaran, yang keduanya tentu akan diterima Tuhan
dengan segenap keadilan.
Tetapi suma pula hal Zainuddin dengan Hayati semalam itu. Dia ingat surat yang dikirimnya. Ai
..... barangkali dia salah, barangkali ada perkataan-perkataan janggal dan kasar terselip dalam
surat itu, barangkali ..... barangkali berkirim surat itu adalah satu cela paling besar, sebab baik
di Minangkabau atau di Mengkasar sekalipun, amat dicela orang anak muda yang berkirim surat
kepada perempuan. Barangkali, akan terlepas Hayati selama-lamanya dari tangannya, sebab dia
dipandang rendah budi.
Ketakutan dan kecemasan itu diusirnya pula segera. Dia usir dengan perkataan: Surat itu kutulis
dengan tulus ikhlas, kutulis dengan jiwa yang tenteram dan tidak bermaksud jahat. Bersalah
besar-saya kepada hati sendiri, jika perasaan itu tidak dicurahkan. Berbahaya benar jika
perasaan demikian hanya disimpan-simpan saja. Nyampangku mati sekarang ..... kebetulan
Hayati tak tahu aku mencintai dia, dan hanya didapatnya keterangan dari pada notes yang
kutinggalkan; alangkah remuk hatinya, dia telah menyebabkan seorang makhluk yang malang
mati berulam jantung. Tidak, surat tak salah, mestinya kuterangkan kepadanya bahwa saya
mengharapkan dia, walau pun akan dimaki diejeknya, dihinakannya dan dipandangnya rendah.
Dan tidak, Hayati tak akan mau berbuat demikian, sebab hatinya sangat baik.
Tersingkir perasaan demikian, timbul pula kembali dalam sanubarinya rasa cinta yang mulai
bersemi itu. Dilihatnya alam sekelilingnya, di sana terlukis dengan nyatanya gambaran cinta. Di
lihatnya langit yang hijau dengan bintang-bintangnya, berkelapkelip melambaikan cinta, kicut
pohon bambu dihembus udara malam, di sana didengarnya suara cinta. Didengarnya, alam itu
melagukan lagu percintaan, karena memang Tuhan jadikan segenap alam ini dengan cinta. [45]
Demikianlah perjuangan batin yang begitu hebat telah terjadi, perasaan cinta yang mulai subur,
tetapi dilambai oleh angin ketakutan. Sehingga besoknya pagi-pagi, setelah matahari terbit dan
Zainuddin bangun dari tidurnya, dia merasa takut dan malu akan bertemu dengan Hayati, takut
suratnya tidak akan diterima. Bila dia lalu pada suatu jalan, dia berjalan tergesa-gesa, takut
akan bertemu dengan Hayati, takut akan menentang wajahnyayang molek, seakan-akan
menyesal dia rasanya mengirim surat itu. Apalagi telah sehari, setelah 2 hari surat dikirimkan,
tidak mendapat balasan apa-apa, sehingga mengalir keringat di keningnya menentnang kan itu,
terasa benar olehnya kasar budinya.
Perasaan itu kian lama kian mendalam, sehingga matanya tak mau tidur, hatinya tak mau
tenteram. Pernah juga dia akan bertemu di satu jalan, dia mengencong ke tempat lain.