Page 34 - Tenggelamnya Kapal
P. 34
Maka duduklah mereka berhampir-hampiran. Hayati termenung dan kepalanya tertekur ke
bumi, sepatah perkataan pun belum dimulainya.
"Mengapa saya dengan suratku, Hayati? Besarkah kesalahan saya, makanya kau tak sudi
membalasnya, sehingga perlu pula memberi keterangan kemari dahulu? Hayati, ini hati yang
tersimpan dalam dadaku, ini nyawa yang memberikan keizinan tubuhku tinggal hidup, ini
semuanya telah lama mati pada hakikatnya. Bujukan kau saja, hanya semata-mata itulah lagi
pengharapanku menempuh hayat. Mengapa engkau masih mundur maju?"
Hayati menangis, dua tetes air mata mengalir di pipinya.
"Kau menangis Hayati? Apakah tidak terlalu berlebih-lebihan jika kau akan menanggung rugi
lantaran diriku? Bukankah air matamu dan nafasmu yang turun naik, lebih berharga dari pada
diriku ini? Jangan kau menangis, kau boleh menentukan ponis, mengambil keputusan terhadap
diriku. Nyatakan bahwa cintaku kau balas, kalau memang kau ada mempunyai itu. Itulah kelak
akan jadi modal hidup kita berdua. Asal saja tahu kau cinta, saya tak harapkan apa-apa sesudah
itu, kata tak akan [52] melanggar perintah Ilahi. Tetapi kalau kau memang tak merasa terhadap
diriku sebagai yang kurasa, kau tak cinta kepadaku, nyatakanlah itu dengan terus terang,
sebagai pernyataan seorang sahabat kepada sahabatnya. Kalau keputusan itu yang kau berikan
walau pun mukaku akan hitam menghadapimu di sini, lantaran malu, saya akan tahankan, saya
sudah biasa talian tergiling dari kecilku."
"Bukan begitu, tuan Zainuddin. Bukan saya benci kepada tuan; karena saya kenal budi baik
tuan. Saya merasa kasihan di atas segala penanggungan yang menimpa pundak tuan. Tapi
tuan, sebuah yang saya takutkan, yaitu saya takut akan bercinta-cintaan."
"Kau takut?"
"Ya, sebab pepatah telah pemali menyebut, bahwasanya seorang memburu cinta, adalah
laksana memburu kijang di rimba belantara. Bertambah diburu bertambah jauh dia lari.
Akhirnya tersesat dalam rimba, tak bisa pulang lagi. Saya takut akan terikat oleh percintaan,
karena saya seorang gadis kampung yang telah lama kematian ibu. Harta benda yang banyak
itu bukanlah kepunyaanku tetapi di bawah kuasa suku. Saya miskin dan papa. Saya tak ada ibu
yang mengasuh, tak mempunyai saudara yang akan membela."
"Tapi percayakah engkau bahwa hatimu suci?"
"Cuma itulah pedomanku, tuan; saya percaya hatiku suci dan tiada bermaksud jahat kepada
sesama manusia."
"Kalau ada kepercayaanmu demikian, maka Tuhan tidaklah akan menyia-nyiakan engkau.
Sembahlah Dia dengan khusyu', ingat Dia di waktu kita senang, supaya Dia ingat pitta kepada
kita di waktu kita sengsara. Dialah yang akan membimbing tanganmu. Dialah yang akan
menunjukkan haluan hidup kepadamu. Dialah yang akan menerangi jalan yang gelap. Jangan
takut menghadapi cinta. Ketahuilah bahwa Allah yang menjadikan matahari dan memberinya
cahaya. Allah yang menjadikan bunga dan memberinya wangi. Allah yang menjadikan tubuh
dan memberinya nyawa. Allah [53] yang menjadikan mata dan memberinya penglihatan. Maka
Allah pulalah yang menjadikan hati dan memberinya cinta. Jika hatikau diberi-Nya nikmat pula
dengan cinta sebagaimana hatiku, marilah kita pelihara nikmat itu sebaik-baiknya, kita jaga dan
kata pupuk, kita pelihara supaya jangan dicabut Tuhan kembali. Cinta adalah iradat Tuhan,
dikirimnya ke dunia supaya tumbuh. Kalau dia terletak di atas tanah yang lekang dan tandus,
tumbuhnya akan menyiksa orang lain. Kalau dia datang kepada hati yang keruh dan kepada