Page 35 - Tenggelamnya Kapal
P. 35
budi yang rendah, dia akan membawa kerusakan. Tetapi jika dia hinggap kepada hati yang suci,
dia akan mewariskan kemuliaan, keikhlasan dan tha'at kepada Ilahi."
Sedang Zainuddin berkata-kata demikian, Hayati masih tetap menekurkan kepalanya, air
matanya ..... lebih banyak jatuh dari yang tadi.
"Mengapa kau masih menangis, Hayati?"
"Segala perkataan tuan itu benar, tidak ada yang salah. Tapi peredaran masa dan zaman
senantiasa berlain dengan kehendak manusia, di dalam kita tertarik dengan tertawanya, tiba-
tiba kita diberinya tangis. Saya ingat kekerasan adat di sini, saya ingat kecenderungan mata
orang banyak, akan banyak halangannya jika kita bercinta-cintaan. Saya takut bahaya dan
kesukaran yang akan kita temui, jika jalan ini kita tempuh."
"Jadi ........?"
"Lebih baik kita tinggal bersahabat saja."
"Kita bersahabat dan kita bercinta, Hayati. Karena kalau kau tak cinta kepadaku, artinya kau
bukan bersahabat."
"Habisi sajalah hingga ini, tuan."
"Oh, jadi, kau telah mengambil keputusan yang tetap?" "..............Ya!"
Lama Zainuddin termenung mendengar kalimat itu, beberapa saat lamanya dia tak dapat
berkata-kata. Setelah itu dengan suara lemah dia berkata:
"Baiklah, Hayati! Besar salahku memaksa hati yang tak mau. Baiklah, marilah kita tinggal
bersahabat, saya takkan mengganggirm [54] lagi. Pulanglah ke rumah, tidak ada keizinan
Tuhan atas pertemuan dua orang muda yang sebagai kita ini kalau memang tak ada perkenalan
bathin........."
Maka turunlah Zainuddin dari tempat duduknya, lalu pergi. Berkunang-kunang dilihatnya alam
lebar ini. Dia melangkah perlahan sekali, karena badannya rasa bayang-bayang. Dan baru
diseberangi bandar kecil dekat sawah itu, langkahnya tak kuat lagi, dia terjatuh .......
Hayati takut akan keria cinta. Takut menghadapi cinta, itulah cinta yang sejati. Dia memberi
ponis "tidak cinta" kepada Zainuddin, artinya dia memberikan ponis kematian kepada dirinya
sendiri. Setelah agak jauh Zainuddin berjalan, dia pun tak tahan pula lagi, dia meniarap ke
lantai di dangau itu menahan hatinya, dan hati tidak juga tertahan.
"Ahmad," katanya kepada adiknya dengan tiba-tiba yang berdiri di samping dangau itu, dan
matanya pun turut balut menangis.
"Ini saya, kak!"
"Panggil tuan Zainuddin kembali!"
Maka berlari-larilah Ahmad mengejar Zainuddin, didapatinya Zainuddin tengah duduk tersimpuh
di tepi bandar air yang akan dialirkan orang ke sawah. Dibimbingnya pulang ke dangau itu
kembali.
"Apa, Hayati?"
"Saya cinta akan dikau, biarlah hati kita sama-sama dirahmati Tuhan. Dan saya bersedia
menempuh segala bahaya yang akan menimpa dan sengsara yang mengancam."