Page 37 - Tenggelamnya Kapal
P. 37
7. PEMANDANGAN DI DUSUN
SESUNGGUHNYA persahabatan yang rapat dan jujur di antara kedua orang muda itu, kian lama
kian tersiarlah dalam dusun kecil itu. Di dusun, belumlah orang dapat memandang ke jadian ini
dengan penyelidikan yang seksama dan adil. Orang belum kenal percintaan suci. Yang
terdengar sekarang, yang pindah dari mulut ke mulut, ialah bahwa Hayati, kemenakan Dt......
telah ber"intaian," bermain mata, berkirim-kiriman surat dengan anak orang Mengkasar itu.
Gunjing, bisik dan desus, perkataan yang tak berujung pangkal, pun ratalah dan pindah dari
satu mulut ke mulut yang lain, jadi pembicaraan dalam kalangan anak muda-muda yang. ducluk
di pelantar lepau petang hari. Sehingga akhirnya telah menjadi rahasia umum.
Orang-orang perempuan berbisik-bisik di pancuran tempat mandi. Kelak bila kelihatan Hayati
mandi ke sana, mereka pun berbisik dan menclaham, sambil melihat kepadanya dengan sudut
mata. Anak-anak muda yang masih belum kawin dalam kampung itu sangat naik clarah. Bagi
mereka adalah perbuatan demikian merendahkan derajat mereka seakan-akan kampung tak
berpenjaga. Yang terutama sekali dihinakan orang adalah persukuan Hayati, terutama
mamaknya sendiri Dt ..... yang dikatakan buta saja matanya melihat kemenekannya membuat
malu, melangkahi kepala ninik-mamak.
Ibarat bergantang, hal ini telah terlalu penuh. Telinga Dt ..... tidak sanggup lagi mendengarkan.
Sehingga pada suatu malam dicarinya Zainuddin, dibawanya berbicara bermuka-muka.
"Zainuddin," ujarnya, "telah banyak nian pembicaraan orang yang kurang enak kudengar
terhadap dirimu dan diri kemenakanku. Kata orang tua-tua telah melakukan perbuatan yang
buruk rupa, salah canda, yang pantang benar di dalam negeri yang berauat ini. Diri saya
percaya bahwa engkau tiada melakukan perbuatan yang dada senonoh dengan kemenakanku,
yang dapat merusakkan nama Hayati selama hidupnya. Tetapi, sekarang saya temui engkau
untuk memberi eugkau nasehat, lebih baik sebelum perbuatan berkelanjuran, sebelum
merusakkan nama kami dalam negeri, suku sako turun temurun, yang belum lekang dipanas
dan belum lapuk dihujan, supaya engkau surut."
Tercengang Zainuddin menerima pembicaraan yang ganjil itu, bagai ditembak petus tunggal
rasa kepalanya. Lalu dia berkata: "Mengapa engku berbicara demikian rupa kepada diriku?
Sampai membawa nama adat dan turunan?"
"Harus hal itu saya tanyai, karena di dalam adat kami di Minangkabau ini, kemenakan di bawah
lindungan mamak. Hayati orang bersuku berhindu berkaum kerabat, bukan dia sembarang
orang."
"Saya akui hal demikian, engku. Tetapi itulah kemalangan nasib saya, mengapa dahulunya saya
berkenalan dengan dia, mengapa maka hati saya terjatuh kepadanya, dan dia sambut
kemalangan untungkudengan segenap belas-kasihan. Cuma sehingga itu perjalanan perkenalan
kami selama kami hidup, lain tidak!"
"Ya, tapi kasihan Hayati. Engku sendiri tahu bagaimana dia dipandang bunga di dalam
persukuannya. Dahulu dia lurus, gembira, tetapi sekarang telah pemenung dan pehiba hati.
Hatinya telah rusak binasa semenjak berkenalan dengan engkau dan kalau diperturutkan
agaknya badannya akan kurus kering, dan kalau dia terus binasa, bukankah segenap persukuan
dan perlindungan di rumah gedang kehilangan mustika?