Page 39 - Tenggelamnya Kapal
P. 39

Zainuddin telah saya suruh pergi dari Batipuh. Kalau dia hendak menuntut ilmu juga, sebagai
               niatnya bermula, lebih baik dia pergi ke Padang Panjang atau Bukittinggi saja, dia telah mau."
               Meski pun dengan sepayah-payahnya Hayati menahan hatinya, namun mukanya nyata pucat
               kelihatan, terlompat juga pertanyaan dari mulutnya:
               "Apa sebab engku suruh dia pergi?"

               "Banyak benar fitnah-fitnah orang terhadap kepada dirinya dan dirimu sendiri."
               "Tapi perhubungan kami suci, tidak bercampur dengan perbuatan yang melanggar sopan
               santun."
               "Hai Hayati! Jangan engkau ukur keadaan kampungmu dengan kitab-kitab yang engkau baca.
               Percintaan hanyalah khayal dongeng dalam kitab saja. Kalau bertemu dalam pergaulan hidup,
               [60] cela besar namanya, merusakkan nama, merusakkan ninik-mamak, korong kampung,
               rumah halaman."

               "Zainuddin bukan mencintai saya sebagaimana engku katakan itu, tetapi dia hendak menuruti
               jalan yang lurus, dia hendak mengambil saya jadi isterinya."

               "Mana bisa jadi, gadis. Menyebut saja pun tidak pantas, kononlah melangsungkan."
               "Bagaimana tidak akan bisa jadi, bukankah Zainuddin manusia? Bukankah dia keturunan
               Minangkabau juga?."
               "Hai upik, baru kemaren kau memakan garam dunia,kau belum tahu belit-belitnya. Bukanlah
               kau sembarang orang, bukan tampan Zainuddin itu jodohmu. Orang yang begitu tak dapat
               untuk menggantungkan hidupmu, pemenung, pehiba hati, dan kadang-kadang panjang angan-
               angan. Di zaman sekarang haruslah suami penumpangkaa hidup itu seorang yang tentu
               pencaharian tentu asal usul. Jika perkawinan dengan orang yang demikian langsung, dan
               engkau beroleh anak, ke manakah anak itu akan berbako? Tidakkah engkau tahu bahwa
               Gunung Merapi masih tegak dengan teguhnya? Adat masih berdiri dengan kuat, tak boleh lapuk
               oleh hujan, tak boleh lekang oleh panas?"
               "Oh engku, mengapa engku sampai hati membunuh Zainuddin dan membunuh kemenakan
               engku sendiri?"
               "Tidak Hayati, kau harus tenangkan pikiranmu. Hari ini kau bersedih, karena segala sesuatu kau
               pandang dengan mata percintaan, bukan mata pertimbangan. Akan datang zamannya kau
               sadar, kau puji perbuatanku dan tidak kau sesali. Moga-moga habis cinta kau kepadanya,
               karena cinta demikian berarti menghabiskan umur dan perbuatan sia-sia. Mamakmu bukan
               membunuh, tetapi meluruskan kembali jalan kehidupanmu, pengalamanku telah banyak.
               Mamak tak pandai membaca yang tertulis, tetapi tahu pahit dan getirnya hidup ini."

               Hayati menangis, menangisi nasib sendiri dan menangisi Zainuddin, dia meniarap di ujung kaki
               mamaknya meminta dikasihani. Tapi percuma, percuma menanamkan padi di sawah [61] yang
               tak berair, percuma mendakikan akar sirih, memanjat bate Percuma, percuma meminta sisik
               kepada limbat ...........
               "Sekarang kau menangis, dan nanti kau akan insaf sendiri," ujar mamaknya pula, sambil
               menarikkan kakinya yang sedang dipagut oleh Hayati perlahan-lahan.
               Zainuddin baru saja sampai ke rumah bakonya. Mande Jamilah telah menyambutnya dengan
               muka pucat pula. Belum selesai dia makan, Mande Jamilah telah berkata: Lebih baik engkau
               tinggalkan Batipuh ini, tinggallah di Padang Panjang. Sebab namamu disebut-sebut orang
   34   35   36   37   38   39   40   41   42   43   44