Page 42 - Tenggelamnya Kapal
P. 42
kain sarung, dan perempuan-perempuan berkain telekung dan menjinjing buli-buli. Tidak lama
kemudian matahari pun terbitlah.
Semua itu dilihat oleh anak muda itu, sambil menarik nafas panjang. Dia kelihatan berjalan
dengan gontainya, di halaman'yang luas dari rumah adat yang berderet-deret, setelah menjabat
tangan [64] Mande Jamilah yang mengantarkannya sampai ke halaman. Semuanya dengan
perasaan yang amat sayu.
Dia melangkah, langkahnya tertegun-tegun. Di tentang rumah Hayati, sengaja ditekurkannya
kepalanya, karena sudah putus harapannya hendak bertemu, bunga harum berpagar duri, yang
dari sana penyakitnya, tetapi di sana pula obatnya.
Meski pun rum pun bambu yang berderet di tepi jalan membawa udara dan bunyi yang
menyegarkan pikiran, bagi orang sebagai Zainuddin semuanya itu hanyalah menambah
penyakit. Sebab negeri Batipuh, negeri yang ditujunya dari kampung kelahirannya, akan tinggal.
Halaman tempatnya bermain, akan tinggal. Surau tempatnya bermalam, akan tinggal. Dangau
tempat dia bermula menjalin janji dengan Hayati, dan ......akan tinggal Hayati sendiri.
Tiba-tiba, setelah kira-kira setengah jam dia meninggalkan kampung yang permai itu mengayun
langkah yang gontai, gonjong rumah-rumah telah mulai ditimpa cahaya pagi, disuatu pendakian
yang agak sunyi, di tepi jalan menuju Padang Panjang, kelihatan olehnya seorang perempuan
berdiri, berbimbing tangan dengan seorang anak laki-laki. Orang itu ialah Hayati sendiri dan
adiknya Ahmad, yang berdiri menunggunya.
Bergoncang sangat hatinya demi melihat anak perempuan itu. Lidahnya seakan-akan terkunci.
Tapi demi dilihatnya muka anak perempuan itu tenang saja, timbullah malu dalam hatinya
hendak menunjukkan kesedihan. Setelah lama dia tegak termenung menentang muka Hayati
barulah dapat dia berkata
"Rupanya ada juga niat hatimu hendak menungguku di sini, Hayati!"
"Memang, tuan Zainuddin, ah ..... engkau tak akan kubahasakan "tuan" lagi, memang
Zainuddin, sahabatku. Sejak saya mendengar sikap yang telah diambil oleh mamakku,
terancamlah perhubungan kasih sayang kita. Dan orang kampungku telah syak wasangka
kepada kita yang bukan-bukan. Sebab itu, saya datang [65] kemari melepasmu pergi, dan biar
engkau pergi sejauh-jauhnya pun, namun jiwamu telah dekat dengan jiwaku. Sekali seorang
anak perempuan yang jujur telah memberikan bujukan kepada seorang laki-laki yang
menghamparkan sayap pengharapan, maka selama hidupnya, kematianlah yang akan
menceraikan perjanjiannya itu.
Zainuddin, kekasihku, berangkatlah, biar jauh sekalipun, kulepaskan! Tapi harapanku hanya
sebuah engkau sekali-kali tak boleh putus asa, jangan diberi hatimu berpintu sehingga
kesedihan dan kedukaan masuk ke dalam.
Cinta bukan melemahkan hati, bukan membawa putus asa, bukan menimbulkan tangis
salisedan. Tetapicintamenghidupkan pengharapan, menguatkan hati dalam perjuangan
menempuh onak
dan duri penghidupan. Berangkatlah! dan biarlah Tuhan memberi perlindungan bagi kita."
"Hayati," ujar Zainuddin, "amat besar harganya perkataanmu itu bagiku. Saya putus asa, atau
saya timbul pengharapan dalam hidupku yang belum tentu tujuannya ini, semuanya bergantung
bukan kepada diriku, bukan pula kepada orang lain, tetapi kepada engkau sendiri. Engkaulah
yang sanggup menjadikan saya seorang gagah berani, tetapi engkau pula yang sanggup