Page 45 - Tenggelamnya Kapal
P. 45

9. DI PADANG PANJANG



               TIDAK berapa jauh jaraknya dusun Batipuh dengan kota Padang Panjang, kota yang dingin di
               kaki gunung Singgalang itu. Tetapi bagi Zainuddin, dusun itu telah jauh, sebab tak dapat
               bertemu dengan Hayati lagi. Apalagi budi pekertinya terlalu tinggi, kalau budinya rendah, sejam
               atau dua jam, tentu dia telah dapat menemui Hayati.

               Dipilihnya tempat tinggal di kampung Silaing, penurunan akan menuju kota Padang, yang dari
               sana dapat dilihat kaki Singgalang dengan bukit-bukitnya yang penuh ditumbuhi tebu. Di sana
               dapat pula didengarkan derum sungai Anai yang mengalir dahsyat. Apalagi sunyi dan sepi serta
               merawankan hati, suatu kampung yang amat disukai oleh penya'ir.
               Mula-mula saja dia tinggal di Padang Panjang, telah dikirimkan sepucuk surat kepada mak Base,
               yang di dalamnya ditulisnya serba  ringkas bagaimana penanggungannya tinggal di
               Minangkabau. Tidak lama kemudian datang balasan dari orang tua yang dikasihinya itu,
               mengajaknya lebih baik pulang saja kembali ke Mengkasar, sementara dia masih hidup. Tapi
               Zainuddin tidak hendak kembali sebelum maksudnya berhasil dia hendak memperdalam
               penyelidikannya dari hal ilmu dunia dan akhirat, supaya kelak dia menjadi seorang yang
               berguna.
               Memang sejak meninggalkan Batipuh, telah banyak terbayang cita-cita dan angan-angan yang
               baru dalam otak Zainuddin. Kadang-kadang terniat di hatinya hendak menjadi orang alim, jadi
               ulama sehingga kembali ke kampungnya membawa ilmu. Kadang-kadang hapus perasaan
               demikian, dan timbul niatnya hendak memasuki pergerakan politik, menjadi leider dari [69]
               perkumpulan rakyat. Kadang-kadang dia hendak menjadi ahli sya'ir, mempelajari kesenian yang
               dalam. Itulah tiga tabi'at, tiga kehendak yang mengalir dalam darahnya, yang terbawa dari
               turunannya. Sebab ayah dari ibunya, yaitu Daeng Manippi, seorang beribadat, demikian juga
               ayahnya di hari tuanya. Ibunya seorang perempuan pehiba hati, thabi'at ahli sya'ir.

               Terlunta-luntalah keadaannya seketika dia mula-mula menjejak Padang Panjang itu, belum juga
               tentu haluannya. Beberapa hari kemudian, hari Jum'at, di waktu orang-orang dari dusun, dari
               Gunung, Batipuh Pitalah, Sumpur, Kota Lawas dan sekitar kota Padang Panjang pergi ke pasar,
               datanglah Ahmad adik Hayati, membawa sepucuk surat buat Zainuddin, demikian bunyinya:


               Kekasihku Tuan!

               Meski pun tak berapa jauh antaranya Batipuh dengan kota Padang Panjang, namun engkau
               telah terptsah dar, padaku, engkau telah jauk Dan pada persangkaanku sukar pula kites akan
               bertemu lugi, karena boleh dikatakan berpagar aur berkeliling, langkah senantiasa dicurigai oleh
               keluaga Meski pun di Padang Panjang id ada rumah seorang sahabatku, Khadijah, tentu pula
               saya tak dapat datang dengan leluasa ke sana, sebab saya telah diberhentikan dari sekolah.
               Kalau tak ada sebab-sebab yang panting tak boleh keluar rumah.
               Telah jauh engkau sekarang, kekasihku, alangkah besarnya kemalanganmu dan
               kesengsaraanku. Alangkah gelapnya dunia di sekitarku.
               Saya telah menipu diri sendiri seketika saya memberi nasehat menyuruhmu berangkat
               meninggalkan Batipuh. Pada sangkaku ketika itu sebagai kuterangkan kepadamu saya akan
   40   41   42   43   44   45   46   47   48   49   50