Page 43 - Tenggelamnya Kapal
P. 43
menjadikan saya sengsara selamanya. Engkau boleh memutuskan harapanku, engkau pun
sanggup membunuhku."
"Kalau demikian, hari inilah saya terangkan di hadapanmu, di hadapan cahaya matahari yang
baru naik, di hadapan roh ibu bapa yang sudah sama-sama berkalang tanah, saya katakan:
Bahwa jiwaku telah diisi sepenuh-penuhnya oleh cinta kepadamu. Cintaku kepadamu telah
memenuhi hatiku, telah terjadi sebagai nyawadan badan adanya. Dan selalu saya berkata, biar
Tuhan mendengarkan, bahwa engkaulah yang akan jadi suamiku kelak, jika tidak sampai di
dunia, biarlah di akhirat. Dan saya tiadakan khianat kepada janjiku, tidak akan berdusta di
hadapan Tuhanku, dan di hadapan [66] arwah nenek moyangku," ujar Hayati.
"Berat sekali sumpahmu Hayati?"
"Tidak berat, demikianlah yang sebenarnya. Dan jika engkau, kekasihku, berjalan jauh atau
dekat sekalipun, entah tidak kembali dalam masa setahun, masa dua tahun, masa sepuluh
tahun, entah hitam negeri Batipuh ini baru engkau kembali ke mari, namun saya tetap
menunggumu. Carilah bahagia dan keberuntungan kita kemana jua pun namun saya tetap
untukmu. Jika kita bertemu pula, saya akan tetap bersih dan suci, untukmu, kekasihku,
untukmu..........
Allah yang tahu bagaimana beratnya perasaan hatiku hendak melepasmu berangkat pada hari
ini, tapi apa yang hendak kuperbuat selain sabar. Tuhan telah memberi saya kesabaran, moga-
moga kesabaran itu terns menyelimuti hatiku, menunggu di mana masanya kita menghadapi
dunia ini dengan penuh kesyukuran kelak."
Baru sekarang terbuka rahasia batin yang tersembunyi di hati Hayati, yang selama ini masih
dipandang oleh Zainuddin sebagai teka-teki. Sekarang, yakni seketika dia akan bercerai-cerai,
dan entah akan bertemu pula entah tidak. Dan pada muka Hayati kelihatan bagaimana hebat
peperangannya menahan hatinya.
"Baiklah Hayati, saya akan berangkat dengan harapan yang penuh, harapan yang tadinya
sebelum kau kelihatan berdiri di sini sudah hampir hilang. Cuma masih ada permintaanku
kepada engkau: Kirimi saya surat-surat, dan kalau tak berhalangan, surat-surat itu akan saya
balasi pula."
"Akan saya kirimi sedapat mungkin, akan saya terangkan segala perasaan hatiku sebagaimana
pepatahmu selama ini, dengan surat kita lebih bebas menerangkan perasaan."
"Mana tahu, entah lama pula kita akan bertemu. Berilah saya satu tanda mata, azimatku, dalam
hidupku, dan, akan kuwasiatkan meletakkan dalam kafanku jika kumati. Berilah, meski pun
suatu barang yang semurah-murahnya bagimu, bagiku mahal semua." [67]
Termenung Hayati sebentar. Tiba-tiba dibukanya selendang yang melilit kepalanya, dicabutnya
beberapa helai rambutnya, diberikannya kepada Zainuddin: "Inilah, terimalah! Selamat
jalan........"
Digamitnya adiknya Ahmad itu dengan tangannya dia pun berpaling muka, berjalan dengan
secepat-cepatnya menuruti jalan raya itu dan membelok ke jalan kecil yang menuju kampung
halamannya, sementara Zainuddin tak dapat berkata sepatah juga lagi.
Tidak berapa menit kemudian, kelihatanlah dari jauh sebuah bendi yang sedang mendaki dan
kudanya berjalan dengan gontai, muatannya kosong, bendi itulah yang mengejutkannya,
sehingga terhenti dari tekurnya.