Page 38 - Tenggelamnya Kapal
P. 38

Zainuddin! Serba susah saya di dalam hal ini. Nama saya sendiri, gelar pusaka turun temurun
               menjadi buah mulut orang, dikatakan mamak yang tak pandai mengatur kemenakan. Dan lagi
               engkau sendiri, belumlah tinggi pemandangan orang kepada didikan sekolah. Kejadian ini telah
               mereka pertalikan dengan sekolah -- [58] itulah bahaya anak kemenakan diserahkan ke sekolah
               kata mereka-- sudah pandai dia berkirim-kiriman surat dengan laki-laki, padahal bukan
               jodohnya. Sebab itu, sangatlah saya minta kepadamu, Zainuddin, sudilah kiranya engkau
               melepaskan Hayati dari dalam kenanganmu, dan berangkatlah dari negeri Batipuh yang kecil ini
               segera, untuk kemaslahatan Hayati."

               "Artinya engku merenggutkan jantung saya dari dada saya," jawab Zainuddin sambil menekur.
               "Engkau seorang laki-laki, Zainuddin. Sakitmu ini hari bolehlah engkau obat besok dan lusa.
               Tetapi seorang perempuan ....... seorang perempuan mau binasa kalau menahan hati."
               "Tidak engku ..... hati laki-lakilah yang kerap remuk lama, perempuan dapat segera melupakan
               hidupnya di zaman muda."
               "Dengan sangat saya minta engkau berangkat saja dari sini, untuk kemaslahatan Hayati yang
               engkau cintai."
               "Untuk kemaslahatan Hayati yang engkau cintai," perkataan ini terhunjam ke dalam jantung
               Zainuddin, laksana panah yang sangat tajam. Dia teringat dirinya, tak bersuku, tak berhindu,
               anak orang terbuang, dan tak dipandang sah dalam adat Minangkabau. Sedang Hayati seorang
               anak bangsawan, turunan penghulupenghulu pucuk bulat urat tunggang yang berpendam
               perkuburan, bersasap berjerami di dalam negeri Batipuh itu. Alangkah besamya kurban yang
               harus ditempuh Hayati jika sekiranya mereka langsung kawin, dan tentu Hayati tiada. akan
               tahan menderita pukulan yang demikian hebat.
               Dia termenung mengingat untungnya, yang hanya mengecap lazat cinta laksana bayang-bayang
               dalam mimpi. Tetapi cinta suci bersedia menempuh kurban, bersedia hilang, kalau hilang itu
               untuk kemaslahatan kecintaan, bersedia menempuh maut pun, kalau maut itu perlu. Karena
               bagi cinta yang murni, tertinggal jauh di belakang pertemuan jasmani dengan jasmani, terlupa
               pergabungan badan dan badan, hanyalah keikhlasan dan kesucian jiwa yang diharapnya. [59]

               "Angkatlah kepalamu Zainuddin, berilah saya kata putus," ujar Dt ....... pula.
               Diangkatnya kepalanya, dan kelihatanlah air matanya merapi. "Berilah saya keputusan,
               berangkatlah!"
               "Ba ....... iklah, engku!"
               Didekatinya Zainuddin, ditepuknya bahu anak muda itu dengan herlahan seraya berkata:
               "Moga-moga Allah memberimu perlindungan."
               Dia pergi, dan Zainuddin ditinggalkannya masih termenung.
               Hayati duduk di ruang tengah merendai sehelai sarung bantal, entah sarung bantal persiapan
               kawin, tidaklah kita ketahui. Tiba tiba Dt ..... masuk ke rumah dan berdiri dekat Hayati sambil
               berkata
               "Sudahkah engkau tahu, Hayati?"

               "Apa engku?"
               "Zainuddin ......."
               Muka Hayati kelihatan pucat dan jahitannya terlepas dari tangannya.
   33   34   35   36   37   38   39   40   41   42   43