Page 25 - Tenggelamnya Kapal
P. 25

Bilamana Zainuddin duduk dalam kesunyiannya seorang diri, bagaikan dirobeknya hari supaya
               lekas sore, moga-moga dapat melihat Hayati pula. Tetapi setelah bertemu lidahnya kaku, tak
               dapat apa yang akan disebutnya. Hayati sendiri pun semenjak waktu itu kerap kali bagai orang
               yang keraguan. Dia berasa sebagai kehilangan, padahal bilamana dilihatnya tas tempat
               bukunya, tak ada alat perkakasnya yang kurang.
               Ada seorang sahabatnya sama bersekolah, bemama Khadijah, tinggal di Padang Panjang. Pada
               suatu hari dikirimnya sepucuk surat kepada Khadijah yang pada ketika membaca surat itu,
               dapat diketahui bagaimana perasaan hatinya. Bunyinya:


               Sahabatku Khadijah.!

               Di waktu surat ini saya perbuat, langit jernih dan udara nyaman. Saya duduk dalam kesepian,
               perempuan-perempuan dalam rumahku tengah ke sawah. Aku teringat akan dikau sahabatku,
               ingin benar hatiku hendak datang ke Padang Panjang menemuimu, tetapi kesempatanku tak
               ada.
               Ganjil benar keadaan di kampung kami sekarang. Karena pada beberapa bulan yang lalu,
               datang kemari seorang anak muda dari Mengkasar, tentu engkau ingat, Zainuddin namanya.
               Dia tinggal tidak berapa jauh dari rumahku, dengan bakonya. Tetapi bako jauh. Tabiatnya yang
               halus menimbulkan kasihan kita, tetapi di dalam kampung dia tidak mendapat penghargaan
               yang semestinya. Sebab dia seorang anak pisang, ayahnya seorang buangan yang telah mati di
               rantau. Meskipun dia dibawa orang bergaul, dia tidak diberi hak duduk di kepala rumah jika
               terjadi perasaan beradat-adat, Sebab dia tidak berhak duduk di situ Bukanlah orang mencela
               perangainya, hanya yang dipandang orang kurang ialah bangsanya Alangkah kejamnya adat
               negeri kita ini, sahabatku.
               Saya kasihan melihat nasib anak muda itu, hanya semata-mata kasihan, sahabat, lain tidak,
               jangan engkau salah terima kepadaku. Karena memang sudah terbiasa kita anak-anak gadis ini
               merasa kasihan kepada orang yang [38] bemasib malang, tetapi kita tak dapat memberikan
               pertolongan apa-apa, karena kata hanya bangsa perempuan yang tidak mempunyai hak apa-
               apa di dalam adat dan pergaulan.
               Terlalu banyak saya membicarakan orang lain dalam surat kepadamu, padahal apalah
               perhubungan kehidupan Zainuddin orang Mengkasar itu dengan kehidupan kita.........
               Renda yang engkau serahkan -ketika akan pakansi sekolah telah hampir selesei kukerjakan.
               Sedianya kalau bukan lantaran pikiranku kusut saja dalam sebulan ini, renda itu telah lama
               selesainya. Tetapi apalah hendak dikata, kerap kali, rancangan yang telah kita kerjakan, terhenti
               di tengah-tengah karena sepanjang hari hanya habis dalam keluhan, keluh mengingat teman
               dan sahabat, mengingat hari kemudian yang masih gelap.
               Bila engkau sempat, sahabat, datanglah ke Batipuh, bermalam di sini agak semalam. Tentu saja
               mamak dan bundamu akan memberimu izin, sebab hanya ke rumahku.



                                                                                                      Hayati.


               Dalam surat itu nampak isi perasaan Hayati, perasaan yang belum pernah diterangkannya
               kepada orang lain.
   20   21   22   23   24   25   26   27   28   29   30