Page 20 - Tenggelamnya Kapal
P. 20

peluitnya di dalam kesusahan meharung rimba dan jembatan yang tinggi, menuju Sawah Lunto
               dan melingkari danau Singkarak?
               Dari manakah pengarang akan mulai menceriterakan sebabsebab mereka berkenalan ?

               Di dalam kalangan gadis-gadis di kampung Batipuh telah menjadi buah mulut, bahwa ada
               sekarang seorang anak muda "orang [29] jauh", orang Bugis dan Mengkasar, menumpang di
               rumah bakonya, Mande Jamilah. Anak muda itu baik budi pekertinya, rendah hati, terpuji dalam
               pergaulan, disayangi orang. Sungguh belajar, karena dia berguru kepada seorang Lebai yang
               ternama. Tetapi dia pemenung, pehiba hati, suka menyisihkan diri ke sawah yang luas, suka
               merenungi wajah Merapi yang diam tetapi berkata. Sayang dia orang jauh!
               Mula-mula Hayati berkenalan dengan dia, adalah seketika hari hujan lebat, sebab daerah
               Padang Panjang itu, lebih banyak hujannya dari pada panasnya. Mereka akan kembali ke
               Batipuh, tiba-tiba hujan lebat turun seketika mereka ada di Ekor Lubuk. Zainuddin ada
               membawa payung dan Hayati bersama seorang temannya kebetulan tidak berpayung.
               Hari hujan juga. Mula-mula mereka sangka akan lekas redanya, rupanya hujan yang tak diikuti
               angin yang kerap kali lama sekali. Sehingga bermenunglah anak muda itu di muka lepau orang,
               melihatkan titik-titk air dari atas ke tanah, menembuti pasir halaman yang terkumpul. Kebetulan
               bendi pun tidak ada yang lalu. Sehingga dari pukul 2 sudah hampir pukul 4 mereka berdiri.
               Heran dengan Zainuddin, mengapa dia tidak berangkat saja padahal dia ada berpayung?

               Dia tahu akan gadis-gadis itu, orang sekampungnya sama-sama orang Batipuh, dia tahu betul,
               meskipun belum berkenalan. Tidak sampai hatinya hendak meninggalkan mereka. Anak-anak
               gadis itu pun kenal akan dia, meskipun belum bertegur sapa, tetapi tak berani membuka mulut.
               Hari sore juga, tiba-tiba timbullah keberanian Zainuddin, meskipun keringatnya terbit di waktu
               hujan, dia tampil ke muka, ditegurnya Hayati: "Encik .......... !"
               Hayati menentang mukanya tenang-tenang dan tidak menjawab, hanya seakan-akan menunggu
               apa yang dikatakannya. "Sukakah Encik saya tolong?"
               "Apakah gerangan pertolongan tuan itu?" [30]

               "Berangkat Encik lebih dahulu pulang ke Batipuh, marah mamak dan ibu Encik kelak jika
               terlambat benar akan pulang, pakailah payung ini, berangkatlah sekarang juga."

               "Terima kasih!" jawab Hayati.
               "Janganlah ditolak pertolongan itu," kata orang lepau dengan tiba-tiba. "Orang hendak berbuat
               baik tidak boleh ditolak."
               "Dan tuan sendiri bagaimana?" jawab Hayati pula, seoang temannya yang seorang lagi
               menekur-nekur saja kemalu-maluan.
               "Itu tak usah Encik susahkan, orang laki-laki semuanya gampang baginya, pukul 7 atau pukul 8
               malam pun saya sanggup pulang, kalau hujan ini tak teduh juga. Berangkatlah dahulu!"
               "Kemana payung ini kelak kami antarkan ?"
               "Besok saja    antarkanpun   tak jadi apa, ke rumah Mande Jamilah!"

               "Terima kasih tuan, atas budi yang baik itu," ujar Hayati sambil senyum, senyum bulan
               kehilang, entah jadi entah tidak. "Ah, baru pertolongan demikian, Encik sudah hendak
               mengucapkan terima kasih!"
   15   16   17   18   19   20   21   22   23   24   25