Page 21 - Tenggelamnya Kapal
P. 21
Kedua gadis itu pun berangkatlah di dalam hujan, berpayung berdua berlambat-lambat.
Zainuddin tegak, termenung seorang dirinya, menunggu biar hujan itu reda. Dalam menungnya
itu, berjalaranlah pikirannya kian kemari. Ia teringat payung, teringat hujan, teringat kota
Mengkasar jika musim hujan, 40 hari lamanya tidak pernah melihat matahari. Lama-lama
teringat dia kepada Hayati yang meminjam payungnya. Itulah rupanya Hayati, yang kerap kali
jadi sebutan oleh anak muda-muda temannya bermain, yang jadi buah mulut dan pujian.
Ah, alangkah beruntungnya jika dia dapat berkenalan dengan gadis itu, berkenalan saja pun
cukuplah. Mukanya amat jernih, matanya penuh dengan rahasia kesucian dan tabiatnya
gembira. Kalau kiranya gadis demikian ada di Mengkasar ...... ah! [31]
Hujan pun teduh, dia pun pulanglah ke Batipuh, dengan langkah yang cepat dari biasa.
Bertambah dekat kampung Batipuh, bertambah jauh dia dari kegembiraannya, sebab kemanisan
mulut bakonya kepadanya hanyalah lantaran belanja bulanan yang diberikannya dengan tetap,
kiriman mak Base dari Mengkasar. Bila hari telah malam, dia pergi tidur ke surau, bersama-
sama dengan lain-lain anak muda, karena demikian menurut adat. Semalam itu, Zainuddin
dikerumuni oleh mimpi-mimpi yang indah.