Page 22 - Tenggelamnya Kapal
P. 22

5. CAHAYA HIDUP



               PAGI-PAGI, sebelum perempuan-perempuan membawa niru dan tampian ke sawah, dan
               sebelum anak muda-muda menyandang bajaknya; sebelum anak-anak sekolah berangkat ke
               sekolah, seorang anak kecil laki-laki datang kemuka surau tempat Zainuddin tidur, membawa
               payung yang dipinjamkannya kemaren. Dia hampiri anak itu, dan anak itu pun berkata: "Kak"
               Ati berkirim salam, dan menyuruh mengembalikan payung ini," sambil memberikannya ke
               tangan Zainuddin.

               Payung itu disambutnya dan dengan sikap yang gugup anak itu memberikan pula sepucuk surat
               kecil: "Surat ini pula ........" katanya.
               Agak tercengang Zainuddin menerima surat itu, dibawanya kembali ke surau.  Kebetulan
               teman-temannya telah pergi ke tempat pekerjaan masing-masing, dibukanya ...............


               Tuan Zainuddin

               Bersamaan dengan anak ini saya kirimkan kembali payung yang telah saya pinjam kemaren.
               Alangkah besar terima kasih saya atas pertolongan itu, tak dapat di sini saya nyatakan.
               Pertama, di waktu hari hujan saya tak bersedia payung, tuan telah sudi berbasah-basah untuk
               memeliharakan diri seorang anak perempuan yang belum tuan kenal. Kedua, kesyukuran saya
               lebih lagi dapat berkenalan dan bersahutan mulut dengan tuan, orang yang "selama ini terkenal
               baik budi. Sehingga bukan saja rupanya hujan mendatangkan basah, tetapi mendatangkan
               rahmat.
               Moga-moga pada suatu waktu kelak, dapatlah saya membalas budi tuan.



                                                                                                 Hayati. [33]


               Disimpannya surat itu ke dalam sakunya. Tidak dapat dia mengartikan dan mentafsirkan surat
               itu, yang penuh berisi ketulusan dan keikhlasan. Susun katanya amat manis tetapi bersahaja
               Setelah beberapa saat kemudian pulanglah Zainuddin dari surau ke rumah bakonya. Sehabis
               makan dan minum, matahari telah sepenggalah naik, kira-kira pukul sembilan, orang telah
               lengang di kampung dan ramai di sawah, rasa-rasa kehilangan semangat Zainuddin duduk di
               rumah. Kebetulan pada waktu itu hari sudah hampir bulan puasa, rumah-rumah pelajaran
               agama di kampungkampung telah ditutup.
               Hatinya amat tertarik melihatkan kehijauan langit sehari itu, apalagi kemarennya hari hujan,
               puncak gunung Merapi jelas kelihatan, sungai Batang Gadis laksana bernyanyi dengan airnya
               yang terus mengalir. Dari jauh kedengaran nyanyi anak gembala di sawah-sawah yang luas.
               Maka setelah meminta diri kepada Mandenya, turunlah dia ke halaman, menuju sawah yang
               banyak itu hendak melihat orang menyabit dan mengirik, atau pun membakar jerami. Dilaluinya
               dari satu pematang sawah ke pematang yang lain, di mana dangau yang tak berorang, dia
               berhenti duduk, bermenung menentang Bukit Tui, menentang danau Sumpur yang indah, atau
               gunung Singgalang yang dipenuhi oleh tebu, berombak kelihatan dari jauh dipuput angin.
   17   18   19   20   21   22   23   24   25   26   27