Page 12 - Tenggelamnya Kapal
P. 12
Yang lebih menyedihkan hatiku lagi, ialah bilamana air matanya titik dan engkau sedang dalam
pangkuannya dia mengeluh: 'Ah, Udin! Sekecil ini engkau sudah menanggung!'
Karena mamakmu ini sudah bertahun-tahun tinggal menjadi orang gajiannya, tetapi kemudian
telah dipandangnya saiudara kandung, telah berat hati mamak hendak meninggalkan rumah ini.
Mamak tidak hendak kembali iagi ke Bulukumba. Tidak sampai [17] hati mamak meninggalkan
ayahmu mengasuhmu. Takut terlambat dia pergi ke mana-mana mencari sesuap pagi sesuap
petang.
Beberapa bulan setelah ibumu meninggal dunia, sudah mamak suruh dia kawin saja dengan
perempuan lain, baik orang Mengkasar atau orang dari lain negeri. Dia hanya menggeleng saja,
dia belum hendak kawin sebelum engkau besar, Udin. Pernah dia berkata: Separo dari hatinya
dibawa ibumu ke kuburan, dia tinggal di dunia ini dengan hati yang separo lagi. Betapa dia
takkan begitu, ia cinta kepada ibumu. Dia orang jauh, orang Padang, lepas dari buangan karena
membunuh orang. Hidup 12 tahun di dalam penjara telah menyebabkan budinya kasar, tidak
mengenal kasihan, tak pernah kenal akan arti takut, walau kepada Tuhan sekalipun. Dia keluar
dari penjara, nenekmu Daeng Manippi menyambutnya, dan dikawinkan dengan ibumu.
Ibumulah yang telah melunakkan kekerasan ayahmu, ibumulah yang telah mengajarnya
menghadapkan muka ke qiblat, meminta ampun kepada Tuhan atas segenap kesalahan dan
dosanya.
Ah, Zainuddin ! ......... Ibumu, kalau engkau melihat wajah ibumu, engkau akan melihat seorang
perempuan yang lemah-lembut, yang di sudut matanya terletak pengharapan ayahmu. Dia
adalah raja, anak. Dia adalah bangsawan turunan tinggi, turunan Datuk ri Pandang dan Datuk ri
Tirro, yang mula-mula menanam dasar keislaman di Jumpandang *) ini. Dan dia pun
bangsawan budi, walaupun ibumu tak pernah bersekolah. Perkawinannya dengan ayahmu tidak
disetujui oleh segenap keluarga, sehingga nenekmu Daeng Manippi dibenci orang, dan
perkawinan ini memutuskan pertalian keluarga.
*) Jum pandang nama asli dari Mengkasar, laksana Sriwijaya bagi Palembang.
Masih terasa-rasa oleh mamak, ayahmu berkata: "Tertalu banyak korban yang engkau tempuh
lantaran dagang melarat ini, Habibah" [18]
Jawab ibumu hanya sedikit saja: "Adakah hal semacam ini patut disebut korban? Ada-ada raja
Daeng ini." Cuma itu jawaban ibumu, anak.
Demikianlah bertahun-tahun lamanya. Mamak masih tetap tinggal dalam rumah ini
mengasuhmu, dan ayahmu berjalan ke mana-mana, kadang-kadang menjadi guru pencak
Padang yang masyhur itu, kadang-kadang berdukun, dan paling akhir dia suka sekali
mengajarkan ilmu agama. Pakaiannya berobah benar dari semasa dia keluar dari bui. Dia tak
pernah memakai destar lagi, melainkan memakai kupiah Padang yang amat disukainya,
bersarung, berpakaian cara "orang siak" di Padang katanya.
Benar apa yang dikatakannya, bahwa hidupnya hanya dengan hati yang separo saja. Pernah
juga dia menerima surat dari Padang, dari keluarganya menyuruh pulang saja ke kampung.
Karena dia seorang beradab, gelar pusaka Datuk Mantari Labih tidak ada yang akan memakai.
Di Minangkabau orang merasa malu kalau dia belum beristeri orang kampungnya sendiri.
Berbini di rantau orang artinya hilang. Demi, setelah terdengar oleh mereka bahwa ibumu telah
mati, bertubi-tubi pula datang surat menyuruh pulang. Kepada mamak kerap kali
diterangkannya, bahwa hatinya rasa diiris dengan sembilu teragak pulang, seakan-akan
kelihatan olehnya pelabuhan Teluk Bayur, Gunung Merapi yang hijau kelihatan dari laut. Tetapi
hatinya tidak sampai hendak meninggalkan pusara ibumu, pusara gurunya, katanya. Dia tidak