Page 8 - Tenggelamnya Kapal
P. 8

pula air mancur yang lebih tinggi. Masih terasa-rasa di pikirannya keindahan lagu "Serantih"
               yang kerap kali dilagukan ayahnya tengah malam. Ia tak tahu benar apakah isi lagu itu, tetapi
               rayuannya sangat melekat dalam hatinya. Ada pantun-pantun ayahnya yang telah hapal olehnya
               lantaran dinyanyikan dengan nyanyi Serantih yang merdu itu:



                  "Bukit putus, Rimba Ketuang,
                  direndam jagung dihangusi.

                  Hukum putus badan terbuang,
                  terkenang kampung kutangisi."



                  "Batang kapas nan rimbun daun,
                  urat terkenang masuk padi.

                  Jika lepas laut Ketahun,
                  merantau panjang hanya lagi."


               Siapakah gerangan anak muda itu?

               Dia dinamai ayahnya Zainuddin. Sejak kecilnya telah dirundung oleh kemalangan'... Untuk
               mengetahui siapa dia, kita harus kembali kepada suatu kejadian di suatu negeri kecil dalam
               wilayah Batipuh X Koto (Padang Panjang) kira-kira 30 tahun yang lalu.
               Seorang anak muda bergelar Pandekar Sutan, kemenakan Datuk Mantari Labih, adalah
               Pandekar Sutan kepala waris yang tunggal dari harta peninggalan ibunya, karena dia tak
               bersaudara perempuan. Menurut adat Minangkabau, amatlah malangnya seorang laki-laki jika
               tidak mempunyai saudara perempuan, yang akan menjagai harta benda, sawah yang
               berjenjang, bandar buatan, lumbung berpereng, rumah nan gadang. Setelah meninggal dunia
               ibunya, maka yang akan mengurus harta benda hanya tinggal ia berdua dengan mamaknya,
               Datuk Mantari Labih. Mamaknya itu, usahkan menukuk dan menambah, hanya pandai
               menghabiskan saja. Harta benda, beberapa tumpak sawah, dan sebuah gong pusaka telah
               tergadai ke tangan orang lain. Kalau Pandekar Sutan mencoba hendak menjual atau menggadai
               pula,[11] selalu dapat bantahan, selalu tidak semupakat dengan mamaknya itu. Sampai dia
               berkata: "Daripada engkau menghabiskan harta itu, lebih baik engkau hilang dari negeri, saya
               lebih suka."
               Darah muda masih mengalir dalam badannya. Dia hendak kawin, hendak berumah tangga,
               hendak melawan lagak kawan-kawan sesama gedang. Tetapi selalu dapat halangan dari
               mamaknya, sebab segala penghasilan sawah dan ladang diangkutnya ke rumah anaknya.
               Beberapa kali dia mencoba meminta supaya dia diizinkan menggadai, bukan saja mamaknya
               yang menghalangi, bahkan pihak kemenakan-kemenakan yang jauh, terutama pihak yang
               perempuan sangat menghalangi, sebab harta itu sudah mesti jatuh ke tanggn mereka, menurut
               hukum adat: "Nan sehasta, nan sejengkal, dan setampok, sebuah jari."
               Pada suatu hari, malang akan timbul, terjadilah pertengkaran di antara mamak dengan
               kemenakan. Pandekar Sutan bersikeras hendak menggadaikan setumpak sawah, untuk
               belanjanya beristeri, karena sudah besar dan dewasa belum juga dipanjat "ijabkabul"
   3   4   5   6   7   8   9   10   11   12   13