Page 9 - Tenggelamnya Kapal
P. 9

Mamaknya meradang dan berkata: "Kalau akan berbini mesti lebih dahulu menghabiskan harta
               tua, tentu habis segenap sawah di Minangkabau ini. Inilah anak muda yang tidak ada malu,
               selalu hendak menggadai, hendak mengagun."
               Perkataan itu dikatakan di atas rumah besar, di hadapan mamak-mamak dan kemenakan yang
               lain. Pandekar Sutan naik darah lantaran malu, tetapi masih ditahannya. Dia berkata: "Mamak
               sendiri juga pernah menggadai, bukan untuk mengawinkan kemenakan, tetapi untuk
               pengawinkan anak mamak sendiri. Berapa tumpak sawah dikerjakan oleh isteri mamak, kami
               tidak mendapat bahagian."
               "Itu jangan disebut," kata Datuk Mantari Labih, "itu kuasaku, saya mamak di sini,
               menghitamkan dan memutihkan kalian semuanya dan menggantung tinggi membuang jauh."
               "Meskipun begitu, hukum zalim tak boleh dilakukan."
               "Apa? ... Engkau katakan saya zalim?" kata Datuk Mantari Labih sambil melompat ke muka, dan
               menyentak kerisnya, tiba [12] sekali di hadapan Pandekar Sutan. Malang akan timbul, sebelum
               dia sempat mempermainkan keris, pisau belati Pandekar Sutan telah lebih dahulu tertancap di
               lambung kirinya, mengenai jantungnya.
               "Saya luka, ... tolong ..." Cuma itu perkataan yang keluar dari mulut Datuk Mantari Labih. Dan
               dia tak dapat berkata-kata lagi. Seisi rumah ribut.
               Beberapa orang mendekati Pandekar Sutan, tetapi mana yang mendekati, mana yang rebah.
               Sebab gelar Pandekar itu didapatnya dengan "keputusan", bukan sembarang gelar saja.
               Orang serumah itu ribut, pekik yang perempuan lebih-lebih lagi. "Amuk-amuk?" orang di
               kampung segera tahu tong-tong berbunyi. Penghulu Kepala lekas diberi tahu. Penghulu Suku
               tahu pula. Beberapa jam kemudian Pandekar Sutan ditangkap, dan Datuk Mantari Labih mati
               tidak beberapa jam setelah tertikam.
               Ketika Landraad bersidang di Panang Panjang, Pandekar Sutan mengaku terus terang atas
               kesalahannya, dia dibuang 15 tahun.
               Ketika itu pembuangan Cilacap paling masyhur bagi orang hukuman Sumatera, laksana
               pembuangan Sawah Lunto bagi orang hukuman tanah Jawa dan Bugis. Dari pembuangan
               Cilacap dia dibawa orang ke tanah Bugis. Ketika itu terjadi peperangan Bone yang masyhur.
               Serdadu-serdadu Jawa perlu membawa orang-orang rantai yang gagah berani untuk
               mengamankan daerah itu. Sebab Pandekar Sutan bergelar "jago" itulah sebabnya dia menginjak
               tanah Mengkasar.
               Apa benarkah Pandekar Sutan seorang "jago", seorang kejam dan gagah berani yang tiada
               mengenal kasihan? Sebenarnya kejagoan dan kekejaman seorang itu bukanlah semuanya
               lantaran tabiat sejak kecil. Sebetulnya Pandekar Sutan hanya seorang yang bertabiat lemah
               lembut, lunak hati. Kalau bukan karena lunaknya tidaklah akan selama itu dia menahan hati
               menghadapi kekerasan mamaknya. Tetapi, tangan yang terdorong bermula, dan pergaulan di
               dalam penjara yang bersabung nyawa, yang keselamatan diri [13] bergantung kepada
               keberanian, memaksa dia melawan bunyi hati kecilnya, dia menjadi seorang yang gagah berani,
               disegani oleh orang-orang rantai yang lain. Di samping itu, dia seorang yang setia kepada
               kawan, pendiam, pemenung. Diam dan menungnya pun menambah ketakutan orang-orang
               yang telah kenal kepadanya.
   4   5   6   7   8   9   10   11   12   13   14