Page 71 - Tenggelamnya Kapal
P. 71

diwajibkan agama, melainkan sekedar seringgit atau dua rupiah yang diucapkan di muka Kadi.
               [111]
               Yang membayar wang jeputan ialah pihak yang perempuan, menurut derjat kemuliaan bangsa
               si laki-laki pula.
               Setelah dibicarakan panjang lebar, hampirlah bulat mupakat hendak menerima Aziz. Karena
               menurut pepatah: "Ruas telah bertemu dengan buku, bagai janggut pulang ke dagu, lama
               berbangsa keduanya, satu bulan satu matahari."
               Ketika musyawarat itu diadakan, Hayati disuruh pergi dahulu ke rumah di sebelah, karena hal
               ini mengenai dirinya."
               Dt ..... melengongkan mukanya kepada orang-orang perempuan yang duduk, menanyai
               bagaimana pikiran dan penyelidikan mereka dalam hal ini. Mak-tengah Limah menjawab
               bahwasanya cinta Hayati rupanya masih lekat kepada Zainuddin orang Mengkasar itu.

               Yang hadir tercengang-cengang. Mamak Datuk Garang merah matanya mendengarkan
               perkataan Limah seraya berkata: "Membuat malu, hendak menginjak kepala kami ninik-mamak.
               Bagai mana akan bisa seorang Mengkasar, seorang Bugis, akan diterima menjadi menantu."
               "Bagaimana kalau dia makan hati berulam jantung sebab maksudrya tidak sampai. Berapa
               banyaknya gadis-gadis yang membunuh diri lantaran tidak bertemu dengan yang dicintainya,
               atau dia mati merana saja?" kata Limah.
               "Lebih baik dia mati, senang kita; dari pada dia memberi malu ninik mamak, merusak adat dan
               lembaga, mengubah cupak nan usali. Apa guna dia hidup kalau akan mencorengkan arang di
               kening dan menggoreskan malu di muka kita?"
               Mendengar itu tidak ada yang berani menjawab perkataannya, Limah pun terdiam.
               "Kan ayahnya orang kita juga!" ujar seorang mamak yang agak muda.

               "Tak usah engkau berbicara. Rupanya engkau tidak mengerti kedudukan adat istiadat yang
               diperturun penaik sejak dari ninik yang berdua, Dt. Perpatih nan Sebatang dan Dt.
               Ketemanggungan yang dibubutkan layu, yang dikisarkan mati. Meski pun ayahnya orang
               Batipuh, ibunya bukan orang Minangkabau, mamaknya tidak tentu entah di mana, sukunya
               tidak ada Tidak ada Perpatihnya, tidak ada Ketemanggungannya. Kalau dia kata terima menjadi
               suami anak kemenakan kita, ke mana kemenakan kita hendak menjelang iparnya, ke mana cucu
               kita berbako, remit sekali soal ini."
               "Tak baik kita mencela orang lain, karena tiap-tiap negeri berdiri dengan adatnya, walau pun
               apa bangsanya dan di mana negerinya," jawab yang muda itu.
               "Itu betul, tetapi tidak ada yang melebilti Minangkabau. Tatkala masa dahulunya, sampai ke
               Aceh tiga segi, sampai Teratak Air Hitam, sampai ke Bugis ke Mengkasar, di bawah perintah
               Minangkabau semuanya. Membayar hak dacing pengeluaran, uburubur gantung kemudi, ke
               dalam alam Minangkabau."

               "Itu betul, tetapi tiap-tiap bangsa itu mengakui mereka pula yang lebih asal, yang lebih dahulu
               mencacak perumahan pulau Perca ini."

               Datuk Garang yang kurang biasa disanggah oleh yang muda-muda telah agak meradang, terus
               berkata ........

               "Wa' den labiah tahu dari kalian (saya lebih tahu dari kamu semua)."
   66   67   68   69   70   71   72   73   74   75   76