Page 66 - Tenggelamnya Kapal
P. 66
Isi surat itu demikian: [104]
Kullu man 'alaiha faan, wa yabqa wajhu rabbika dzul jalali wal ikram! *)
Ananda Zainuddin berselamat di Padang Panjang.
Dengan serba pendek saja Paman nyatakan, bahwa telah berlaku kadar Allah atas hamba-Nya
yang dha'if dan lemah, yaitu mak angkatmu Base, telah berlalu dari kalangan kita, kembali ke
tanah asalnya: "Dari sana dia datang, dan ke sana dia kembali." Inna lilLahi wu Inna Ilaihi
Raji'un.
Penyakit yang diidapkannya tidaklah begitu berat. Tetapi maut tidaklalt membedakan berat
ringan penyakit, karena penyakit hanyalah sebab jua, dan ketentuan ajal juga yang mesti
beriaku .
Saya sampaikan surat ini kepadamu, juga sebagai menerangkan wasiat dan peninggalan
Almarhumah, yaitu supaya kelak jika engkau ada nasib kembali ke Mengkasar ziarahlah ke
kuburannya, yang tiada orang yang memperdulikan kalau bukan engkau sendiri.
Lain dari itu, sesudah habis menyelesaikan utang piutang yang ditinggalkannya, akan saya
kirimlah Minggu di muka wang itu sama sekali dan yang terpegang di tangan saya sekarang
barulah Rp. 3200,- kontan.
Meminta juga pikiranmu, tentang harta bendamu, rumah dan setumpuk tanah peninggalan
ayahmu. Kalau engkau suka jual, kirimilah saga surat kuasa. Tetapi menurut pikiran saya,
karena sejauh jauh anak berjalan, entah ada juga Butta Jum Pandang menyerumu, lebih baik
tanah-tanah itu tak dijual. Sebelum engkau pulang, saya sanggup menjaganya, dengan tidak
mengharapkan apa-apa.
Moga-moga Allah memberikan perlindungan-Nya kepada kita semuanya.........
Doeng Masiga
*). Tiap-tiap orang yang di bumi akan lenyap, dan akan kekal wajah Tuhanmu, Yang Maha Tigggi dan Maha Mulia.
[105]
Gemetar surat itu dalam pegangannya, berdebar darah yang mengalir dalam dadanya.
Telah habis lakon orang-orang yang berhubungan rapat dengan kehidupannya. Permainan
sudah habis, layar sudah ditutup, dan anak-anak tonil telah membuka pakaian permainan.
Tinggalah panggung penghidupan itu dalam kesunyiannya karena penonton telah pulang dan
hari telah larut malam. Demikianlah rasanya ibarat duka atas kepmatian mak Base yang
menimpa hati Zainuddin.
Sebatang kara di dunia!
Dia teringat sekolahnya yang tidak masak, pelajarannya yang tidak sempuma, di mana tinggal
tak tentu tujuan. Dia teringat waktu ayahnya masih hidup, teringat asuhan mak Base. Teringat
negeri Mengkasar yang tercinta, tempat darahnya tertumpah ditinggalkannya, karena mengejar
mimpi sejak dari kecil, tanah Minangkabau yang terkenal molek. Tetapi tidak juga dapat
disingkirkannya peringatan kepada masa dia diusir dari Batipuh, sebab dia tidak orang beradat,