Page 67 - Tenggelamnya Kapal
P. 67

orang pendatang dari jauh, meskipun ayah orang Minangkabau, namun dirinya tcrpandang
               orang lain. Di Mengkasar lain, di Padang lain.
               Ke mana dia hendak pergi lagi?

               Berputar laksana perpusaran buaian di pasar keramaian layaknya otak Zainuddin memikirkan
               nasibnya, nafasnya sesak, Matanya menjadi gelap. Dia teringat ...... teringat satu perbuatan
               yang berbahaya sekali membunuh diri.
               Sudah hilang pertimbangannya, dinaikinya tempat tidurnya, dicoba-cobanya mengikatkan tali ke
               atas paran yang melintang, supaya berakhir azab dunia yang tidak berhenti-henti atas dirinya
               ini.
               "Engkau bodoh!" kata suatu suara yang datang dari sudut hatinya yang kecil, dengan tiba-tiba,
               sehingga dia terkejut, dan tali itu terlepas dari tangannya.........
               "Engkau bodoh!" tidakkah engkau ingat dunia perlu didiami? Tidakkah engkau kasihan umurmu
               masih muda, dan kesempatanmu [106] buat berjuang masih ada? Tidakkah engkau ingat
               bahwa harta benda yang selama ini engkau serahkan kepada Almarhumah yang berbudi itu
               telah dalam tangan engkau? Engkau kira sedikitkah wang 3000 rupiah?
               Tiga ribu rupiah!!!!!! Tiga ribu!!!!

               Kesedihanmu telah berakhir. Dan selain dari sengsara sebanyak itu menimpa dirimu, jangan
               engkau lupakan bahwa engkau pun dapat nikmat pula. Engkau mencintai dan engkau dicintai
               ........ Hayati!

               Tiga ribu rupiah - Hayati!
               ......................................……………………………………..
               Jelas nian suara itu terdengar olehnya!

               Direnggutkannya tali itu kembali ke bawah, dan baru sekarang senyuman kecil tersungging di
               bibirnya.

               Dengan tiga ribu rupiah dia hendak hidup, hendak berjuang menghadapi dunia yang luas ini
               berdua dengan Hayati. Sebab itu, dia hendak mencoba meminta Hayati kepada keluarganya.

               Dalam angan-angan yang demikianlah matanya tertidur!. Bila dia bangun pagi-pagi, tersenyum
               dia sekali lagi, senyum yang hanya sekali-kali menghiasi bibirnya, melihat tali yang bekas
               direnggutkan, kitab yang berserak, bantal yang kusut dan kamar yang kotor. Meski pun
               kesedihan hati kematian belum hilang, kegembiraan mendapat pikiran baru telah menandingi
               kesedihan itu. Setelah selesai membereskan isi bilik kecilnya, dibuatnyalah dua pucuk surat.
               Pertama kepada Daeng Masiga menunjukkan kesedihan hati atas kematian orang yang sangat
               disayanginya itu, dan meminta supaya barang barang peninggalan mak Base mana yang dapat
               dijual, juallah dan harganya itu ambil oleh Daeng Masiga sendiri. Tanah dan rumah diharap
               supaya dipeliharakanbaik-baik, entah lain hari ada masanya kembali ke Mengkasar.

               Setelah melipat surat itu, dia terkeluh sekali lagi berkata [107] "Ah, mak Base! Begitu baik
               budimu kepadaku, engkau telah dahulu dari padaku."

               Setelah itu mulailah surat yang penting itu, surat kepada mamak Hayati. Engku Dt........ dan
               kepada keluarganya.
   62   63   64   65   66   67   68   69   70   71   72