Page 18 - Karen Armstong - Sejarah Tuhan
P. 18

http://pustaka-indo.blogspot.com
             juga  merupakan  sebuah  definisi  yang  amat  kering,  angkuh,
             dan arogan. Sejak menulis buku ini, saya pun menjadi yakin
             bahwa konsep semacam itu juga tidak benar.

             Ketika  remaja,  saya  mulai  menyadari  bahwa  ternyata  ada
             sesuatu pada agama yang lebih daripada sekadar rasa takut.
             Saya  telah  membaca  tentang  kisah  kehidupan  para  rahib,
             puisi-puisi  metafisik,  T.S.  Eliot,  dan  beberapa  tulisan  mistik
             yang  lebih  sederhana.  Saya  mulai  tergugah  oleh  keindahan
             liturgi  dan,  meskipun  Tuhan  masih  tetap  terasa  jauh,  saya
             dapat  merasakan  kemungkinan  untuk  mendekatkan  jarak
             kepadanya  dan  bahwa  penampakannya  akan  mengubah
             seluruh  realitas  ciptaan.  Untuk  mencapai  ini,  saya  pun
             memasuki  sebuah  ordo  keagamaan.  Sebagai  seorang
             biarawati  yang  masih  baru  lagi  belia,  saya  belajar  lebih
             banyak tentang iman. Saya mengkaji apologetika, kitab suci,
             teologi,  dan  sejarah  gereja.  Saya  mempelajari  sejarah
             kehidupan  biara  dan  terlibat  dalam  pembicaraan  panjang
             lebar  tentang  peraturan  ordo  saya  yang  konon  mesti
             dipelajari melalui hati. Anehnya, Tuhan terasa tidak hadir di
             dalam  semua  ini.  Perhatian  justru  dipusatkan  kepada
             perincian  sekunder  dan  aspek-aspek  pinggiran  dari  agama.
             Saya bergulat dengan diri saya sendiri dalam doa, mencoba
             mendorong pikiran saya untuk menjumpai Tuhan. Namun, dia
             tetap  terasa  sebagai  pengawas  yang  dengan  ketat
             mencermati  semua  pelanggaran  aturan  yang  saya  lakukan
             atau  benar-benar  tidak  hadir.  Semakin  banyak  saya
             membaca  tentang  kekhusyukan  para  rahib  dalam  berdoa,
             semakin  saya  merasa  gagal.  Saya  menjadi  sadar  betapa
             miskinnya  pengalaman  keagamaan  saya,  itu  pun  telah
             direkayasa  oleh  perasaan  dan  imajinasi  saya  sendiri.
             Terkadang, rasa pengabdian muncul sebagai respons estetik
             terhadap  keindahan  senandung  gregorian  dan  liturgi.  Akan
             tetapi,  tak  satu  pun  yang  sungguh-sungguh  terjadi  pada  diri




                            ~11~ (pustaka-indo)
   13   14   15   16   17   18   19   20   21   22   23