Page 28 - Negara Kolonial 1854-1942. Panduan penelitian arsip kementerian urusan tanah jajahan. Kepulauan nusantara
P. 28
masyarakat. Gemeenteraad (Dewan Kotapraja) memiliki antara lain hak untuk mengangkat
pegawai kotapraja, untuk menetapkan anggaran tahunan dan memungut pajak, dan dewan itu
juga mempunyai wewenang mengatur. Dengan perantaraan Provinciale Raad (Dewan
Provinsi), walikota dapat mengusulkan kepada gubernur-jenderal agar ordonansi yang
menurutnya bertentangan dengan ordonansi provinsial dan umum dibatalkan atau dihapus.
Dalam situasi yang baru, bupati adalah kepala kabupaten yang ‘otonom’. Semua pegawai
kabupaten dan pegawai provinsi dan gubernemen yang bekerja di wilayahnya adalah
bawahannya. Ia adalah ketua Regenschapsraad (Dewan Kabupaten) yang sebagian
anggotanya dipilih dan sebagiannya lagi diangkat. Bersama dengan College van
Gecommitteerden (Dewan Pemerintahan Harian Kabupaten), ia menjalankan tugas
kepengurusan sehari-hari. Dewan Kabupaten itu berwenang untuk mengangkat pegawai
kabupaten dan menetapkan suatu ordonansi. Bupatilah yang mengatur agar ordonansi itu
diumumkan di Provinciale Blad (Majalah Provinsi), atau apabila ordonansi itu bertentangan
dengan peraturan umum maka dengan perantaraan residen, ia mengusulkan kepada gubernur-
jenderal untuk menghapusnya. Ordonansi kabupaten otomatis tidak berlaku lagi jika topik-
topik yang berkaitan dengan ordonansi umum telah diatur. Anggaran kabupaten setiap tahun
ditetapkan oleh gubernur-jenderal. Ia juga mengatur pemungutan pajak.
Reformasi pemerintahan memberikan dampak bahwa dualisme itu mendapatkan bentuk
vertikal daripada bentuk horisontal. Dalam konstelasi yang lama, para pegawai pemerintahan
Eropa dan pribumi di berbagai tingkatan bekerja berdampingan; dalam situasi yang baru
korps pemerintahan pribumi menduduki tingkat bawahan, korps pemerintahan Eropa tingkat
atasan. Perubahan ini kurang menyenangkan BB Eropa. Pengecilan wilayah jabatan residen,
penurusan status kedudukannya dan asisten-residen mendapat kritik keras dari para pegawai
pemerintahan Eropa, terutama pada generasi lebih tua. Mereka merasa diturunkan menjadi
pegawai administratif yang terutama harus melakukan pekerjaan administratif dan dengan
demikian akan kehilangan kontak dengan masyarakat. Di segi politik, reformasi menimbulkan
kekecewaan yang besar pada para pegawai pemerintahan pribumi dan nasionalis Indonesia.
Di antara kedua kelompok itu, yang juga disebutkan masing-masing sebagai kalangan pejabat
dan politisi, tumbuh suatu kesenjangan. Kesenjangan itu melebar akibat pemerintahan
kolonial, yang di satu pihak di tingkat pusat mempertahankan wibawa Belanda, di pihak lain
menggunakan aparat pemerintahan pribumi untuk membatasi pengaruh kalangan nasionalis
atas masyarakat.
Keluhan dari para pegawai pemerintahan Eropa adalah bahwa mereka kehilangan kontak
dengan masyarakat akibat reformasi pemerintahan. Keluhan itu ternyata benar ketika pada
tahun 1926-1927 di Jawa dan Sumatra terjadi pemberontakan. Khususnya dari kelompok
masyarakat Eropa ada desakan agar dilakukan tindakan pemerintah yang tegas. Yang ‘tetap
tinggal’ dari kelompok ini menunjukkan secara jelas bahwa mereka hanya mau diperintah
oleh orang-orang BB Eropa. Krisis ekonomi pada tahun 1929 dan depresi yang menyusul
menambah sikap yang lebih konservatif dari pemerintahan kolonial. Perkembangan-
perkembangan ini menjadi latar belakang terjadinya reformasi pemerintahan pada tahun 1931,
27