Page 25 - Negara Kolonial 1854-1942. Panduan penelitian arsip kementerian urusan tanah jajahan. Kepulauan nusantara
P. 25
dibentuklah kelompok laki-laki kekar yang lama sesudah kepergian mereka masih diingat
oleh masyarakat. Bagi para pegawai pemerintah pribumi pada paruh kedua abad ke-19
dimulainya periode di mana mereka secara berangsur-angsur disekolahkan menjadi pejabat
birokrasi pemerintahan yang profesional. Setelah tahun 1900 proses ini berjalan lebih cepat.
Pada tahun 1908 sekolah-sekolah kepala (1879) mengalami reorganisasi menjadi
Opleidingsscholen voor Inlandse Ambtenaren / OSVIA (Sekolah Pendidikan untuk Pegawai
Pribumi). Melalui sejenis Hormatcirculaires (Surat edaran tentang etiket penampilan) (antara
lain Bijbladen / Lembaran Tambahan no. 6118 dan 6496) ditentukan etiket pemakaian tanda-
tanda kehormatan pada saat tampil di depan umum. Aparat pemerintahan feodal disehatkan
dan dimodernisasikan: selanjutnya gaji dibayarkan dalam uang. Pada tahun 1913 pemerintah
memformulasikan syarat-syarat baru untuk pengangkatan bupati: mereka harus
menyelesaikan OSVIA atau pendidikan yang setara dengan sukses, menguasai bahasa
Belanda secara aktif dan pasif, dan telah bekerja sebagai wedono dan patih dengan
memuaskan. Penggantian berdasarkan keturunan tetap sebisa mungkin dipertahankan. Banyak
pegawai pemerintahan Eropa yang muda, di bawah pengaruh mantan kolega dan penulis
Eduard Douwes Dekker, mulai bersikap lebih kritis terhadap korps pemerintahan dalam
negeri pribumi. Bagi generasi ini buku bestseller Max Havelaar (1860) merupakan pedoman
dan sumber inspirasi. Itu memberi dampak, bahwa mereka lebih menganggap para pegawai
pemerintahan pribumi sebagai ‘ornamen pemerintah’ (mengutip Adviseur voor Inlandse
25
Zaken / Penasihat untuk Urusan Pribumi, C. Snouck Hurgronje) daripada sebagai kolega-
kolega yang memiliki tanggung jawab sendiri. Snouck berulang-ulang berbalik menentang
sikap yang cupet ini. Ia menganjurkan pemberhentian sementara dari dualisme sehingga perlu
dibebaskan jalan untuk aparat pemerintahan pribumi yang berfungsi.
Krisis ekonomi, yang dialami Hindia pada dekade akhir abad ke-19, bagi pemerintah menjadi
alasan untuk ikut campur secara lebih aktif dalam mengembangkan kesejahteraan. Pidato raja
pada tahun 1901, yang menyebutkan zedelijke roeping (panggilan akan tanggung jawab etis)
Belanda terhadap Hindia, dianggap sebagai awal resmi Ethische Politiek (Politik Etis). Politik
itu bertujuan mengembangkan tanah jajahan di bawah kepemimpinan Belanda menjadi
kemandirian yang besar. Arah baru itu menyebabkan modernisasi lebih lanjut dan spesialisasi
aparat pemerintahan. Didirikan dua departemen pemerintahan umum baru dan dinas
pemerintahan baru. Pendidikan mendapatkan banyak perhatian. Korps BB lebih
dikebawahkan dan tergantung pada badan pemerintahan pusat. Secara teratur para pegawai
pemerintah dikerahkan mengumpulkan data untuk pengaturan undang-undang dan aturan.
Pengetahuan spesialistis mereka terlalu kurang, tetapi pengetahuan umum tentang tanah dan
rakyatnya besar. Mereka adalah orang-orang yang ditunjuk untuk menciptakan landasan
tumpuan masyarakat pada waktu memperkenalkan prasarana, seperti sekolah rendah pribumi
dan lembaga kredit rakyat. Mereka menjadi opheffers (pembubar). Residen G.L. Gonggrijp
membuat dengan cara lucu laporan dari pengalamannya dalam Brieven van Opheffer (Surat-
surat dari pembubar) yang menjadi populer, yang pada tahun 1911-1941 dipublikasikan dalam
Bataviaasch Nieuwsblad dan kemudian diterbitkan dalam bentuk buku.
25
Ph. Kleintjes 1933 II: 33.
24