Page 24 - Negara Kolonial 1854-1942. Panduan penelitian arsip kementerian urusan tanah jajahan. Kepulauan nusantara
P. 24
meliputi antara lain menjelaskan penataan peraturan kepada para pejabat pemerintah pribumi;
melakukan inspeksi budidaya tanaman, sekolah, rumah sakit, penjara, jalan, jembatan,
pekerjaan irigasi; menghadiri rapat bulanan para asisten-wedono di tempat wedono dan rapat
bulanan wedono di tempat bupati. Ia betul-betul pekerja lapangan.
Pengumuman RR tahun 1854 dan instruksi tahun 1859 terjadi dalam periode pergeseran
tekanan dalam pelaksanaan pemerintahan kolonial. Pada pertengahan abad ke-19 di kalangan
pemerintahan mulai disadari bahwa masa jaya Cultuurstelsel (Sistem Tanam Paksa) telah
lewat. Sistem itu diberlakukan pada tahun 1830 dengan maksud untuk menjadikan tanah
jajahan menghasilkan keuntungan melalui ekspor produk pertanian tropisnya. Pemerintah
menduduki kembali peran pengusaha, seperti di masa VOC. Keuntungan, saldo kredit,
sebagian besarnya masuk ke kas negara Belanda. Hindia-Belanda, terutama Jawa, masuk
dalam lalu lintas dunia; perekonomian uang diperkenalkan. Proses itu mempengaruhi
perkembangan sosial-ekonomi dan demografinya. Seputar tahun 1850 kelemahan-kelemahan
sistem itu semakin terlihat. Pelbagai panen yang gagal menyebabkan turunnya harga dan
bencana kelaparan pada rakyat. Para pegawai pemerintahan tidak dapat lagi mengimbangi
perkembangan teknologi. Perusahaan gula swasta, yang dijalankan dengan efisien dan sarana
modern, mencapai sukses. Lagipula dilontarkan kritik tajam atas aspek-aspek etis dari sistem
tersebut, antara lain pemungutan dari para bupati. Itu semuanya menyebabkan munculnya
keputusan (RR pasal 55) untuk memberhentikan Sistem Tanam Paksa dan memberikan jalan
untuk inisiatif swasta. Untuk pemerintah, kepengurusan merupakah hal utama. Lembaga dari
lima departemen pemerintahan umum (Staatsblad van Nederlandsch-Indië 1866 no. 127;
1870 no. 42) sebagai pengganti direktorat-direktorat yang ada, di antaranya direktorat
budidaya tanaman dan pendapatan negeri, memperlihatkan suatu penanganan yang luas dan
lebih terstruktur. Muncul lebih banyak undang-undang dan peraturan, tetapi pemerintah
bersikap hati-hati: pemerintah mengikuti dan mendukung dunia usaha. Agrarische Wet
(Undang-Undang Agraria) tahun 1870 memberikan kemungkinan bagi para pengusaha swasta
untuk menyewa tanah dari pemerintah atau swasta, atau mendapatkan tanah itu dalam bentuk
erfpah. Pada pelaksanaannya para pegawai pemerintah dipasang dengan tugas untuk
melindungi kepentingan masyarakat pribumi. Penambahan beban tugas dan sistematisasi
mengakibatkan pembagian ulang kepengurusan dari daerah pemerintahan langsung di Jawa
dan Madura. Pada tahun 1874 (Staatsblad van Nederlandsch-Indië 1874 no. 72 dan 73) batas
bagian, kabupatenan, distrik, dan anak distrik ditetapkan ulang. Infrastruktur diperbaharui dan
diperluas.
Dengan pembaharuan ini para pegawai pemerintah Eropa tidak kehilangan kemandirian
mereka. Mereka mendapatkan lebih banyak pekerjaan. Mereka lebih sering berurusan dengan
badan-badan pemerintah pusat, tetapi residen tetap memiliki hubungan langsung dengan
penguasa negeri. Jaraknya begitu besar dan komunikasi berjalan kurang lancar. Kehidupan
dari para pegawai pemerintah dalam negeri bervariasi, penuh petualangan dan tantangan. Di
abad ke-20 periode ini dikenang kembali, antara lain oleh J.W. de Meijer Ranneft. Dalam
artikelnya ‘De verwording van het B.B. op Java’ (1917) ia mencirikan paruh kedua abad ke-
19 sebagai masa pemerintah ‘empiris otokratis’ di mana pemerintah hanya mengatur hal yang
paling perlu dan sisanya diserahkan bebas kepada kekuatan masyarakat. Maka untuk hal itu
23