Page 7 - Negara Kolonial 1854-1942. Panduan penelitian arsip kementerian urusan tanah jajahan. Kepulauan nusantara
P. 7

Belanda. Cultuurstelsel membuat Hindia-Belanda, khususnya Jawa, menjadi bagian dari
               kapitalisme modern. Geldeconomie (Ekonomi uang) itu merasuk sampai ke tingkat pedesaan.
               Perkembangan ini mendorong kemakmuran dan pertumbuhan penduduk. Pada tahun 50-an
               dan 60-an, pemerintah pelan-pelan mulai menarik diri: berbagai budidaya tanaman
               diberhentikan. Salah satu alasannya adalah karena kurangnya pengetahuan spesialistis di
               kalangan pegawai pemerintahan, sedangkan pegawai di perusahaan swasta memiliki
               pengetahuan tersebut. Terlebih lagi, para pendukung vrije arbeid (kerja bebas) mendapatkan
               kemenangan ketika seorang pemuka di jajaran mereka, mantan produsen gula I.D. Fransen
               van de Putte, menjadi Minister van Koloniën (Menteri Urusan Tanah Jajahan) (1863-1866,
               1872-1874). Dia berpendapat bahwa orang-orang Indonesia ‘blijmoedig’ (dengan senang hati)
               akan membantu peningkatan kemakmuran Hindia-Belanda dan negeri Belanda apabila
               Belanda memerintah secara ‘rechtvaardig’ (adil). Itu artinya: menghilangkan kendala yang
               menyulitkan pekerjaan (gedwongen arbeid, kerja paksa) dan merangsang perkembangan
                                                        6
               intelektual, khususnya melalui pendidikan.  Sikap lugas dan bertanggung jawab itu sudah
               sejak lama menjadi pedoman kebijakan kolonial.

               Awalnya, pengaruh badan-badan pemerintah pusat terbatas. Titik berat pekerjaan pemerintah
               berada di Corps Binnenlandse Bestuursambtenaren (Korps Pegawai Pemerintahan Dalam
               Negeri). Hal itu berubah pada sekitar tahun 1900. Krisis ekonomi yang melanda Hindia-
               Belanda pada kuartal terakhir abad ke-19 menjadikan pemerintah menyadari bahwa
               liberalisme ekonomi tidak secara otomatis menyebabkan kemakmuran bagi semua orang.
               Kabinet-Kuyper yang agamis, yang muncul pada bulan Agustus 1901, berpendapat bahwa
               naastenliefde (cinta terhadap sesama manusia) harus menjadi dasar kebijakan kolonial.
               Troonrede (Pidato Raja) pada tahun itu mengandung pernyataan yang kemudian menjadi
               terkenal, bahwa Belanda sebagai ‘Christelijke Mogendheid’ (Negara Kristen) memiliki
               kewajiban untuk ‘geheel het regeeringsbeleid te doordringen van het besef, dat Nederland
               tegenover de bevolking dezer gewesten een zedelijke roeping heeft te vervullen’
               (menjalankan seluruh kebijakan pemerintah dengan kesadaran, bahwa terhadap rakyat di
               wilayah tersebut Belanda harus memenuhi suatu panggilan moral). Pernyataan itu segera
               diikuti dengan persetujuan untuk mengadakan suatu penyelidikan terhadap penyebab
                                                                                     7
               ‘mindere welvaart’ (kurangnya kemakmuran) pada penduduk Indonesia.  Dengan penelitian
               itu dimulailah periode Ethische Politiek (Politik Etis) secara resmi. Menurut definisi yang
               dikenal, Politik Etis bertujuan menempatkan seluruh Kepulauan Nusantara di bawah otoritas
               pemerintah Belanda yang ‘reëel’ (nyata) dan dengan di bawah pimpinan Belanda
                                                                                                     8
               mengembangkan tanah dan rakyatnya ke arah pemerintahan mandiri dengan model Barat.

               6
                 Lihat N.G. Pierson (1902-1903), ‘Levensbericht van I.D. Fransen van de Putte’, Levensberichten der
               afgestorven medeleden van de Maatschappij der Nederlandsche Letterkunde te Leiden, hlm. 17-79. Juga:
               Nationaal Archief, arsip Kabinet des Konings, kode akses 2.02.04, nomor inventaris 1627, verbal 21 September
               1866-66, surat dari Minister van Koloniën (Menteri Urusan Tanah Jajahan) Fransen van de Putte kepada raja, 26
               Februari 1866 no. 56.
               7  Lihat E. van Raalte ed. (1964), Troonredes; Openingsredes; Inhuldigingsredes 1814-1963 (‘s-Gravenhage),
               hlm. 193-194. Juga lema Welvaartsonderzoek (Penelitian kemakmuran) dalam Encyclopaedie van
               Nederlandsch-Indi, IV  (1921; Cetakan ke-2; Den Haag-Leiden), hlm. 751-758.
               8
                  Lihat E.B. Locher-Scholten (1981), Ethiek in fragmenten; Vijf studies over koloniaal denken en doen van
               Nederlanders in de Indonesische archipel 1877-1942 (Utrecht: Hes), hlm. 201.
               6
   2   3   4   5   6   7   8   9   10   11   12