Page 122 - Buku Kemdikbud Ki Hadjar Dewantara
P. 122

diwariskan kepada keturunan Paku Alam V  (Scherer, 1985: 77).
                                                     2
                   Dengan kondisi ekonomi  yang tidak  lebih  baik
            dibandingkan  dengan para pangeran Pakualaman  lainnya,

            Soewardi  Soerjaningrat  dimasukkan  ke  Europeesche  Lagere
            School (ELS). Selesai  dari ELS, Soewardi Soerjaningrat
            melanjutkan  pendidikannya  ke sekolah guru di  Yogyakarta.
            Akan tetapi, tidak selesai karena terbentur masalah biaya. Saat
            itulah, datang tawaran beasiswa dari dr. Wahidin Soedirohoesodo
            kepada  Soewardi untuk menempuh  pendidikan  di  School  tot
            Opleiding van Indische Artsen (STOVIA). Dengan beasiswa itu,

            pada 1905, Soewardi mulai belajar ilmu kedokteran di Stovia,
            yang di kalangan pribumi lebih dikenal dengan sebutan Sekolah
            Dokter Jawa.   Akan tetapi, pendidikan Soewardi di Stovia
                          3
            2. Dengan pewarisan tahta Pakulaman kepada keturunan Paku Alam V, maka
                Pemerintah Hindia Belanda telah memutus hak atas tahta Pakualaman
                bagi seluruh keturunan Paku Alam III. Selain itu, kedua anak Paku Alam
                III pun menghadapi  intrik di antara pangeran yang berdampak  pada
                “keluarnya”  mereka dari keraton. Situasi ini merupakan pondasi awal
                bagi  Soewardi Soerjaningrat  dalam  pembentukan  karakternya, yakni
                aristokrat yang merakyat (Soewito, 1982: 52).
            3.   Masuknya Soewardi Soerjaningrat  ke Stovia  di luar  tradisi kalangan
                priyayi-aristrokrat. Hal yang sama ditempuh juga oleh kakaknya yang
                melanjutkan  pendidikan ke Sekolah Pertanian di Bogor. Lazimnya,
                seorang keturunan  priyayi-aristokrat,  menempuh  pendidikan  ke HBS
                atau Osvia (Scherer, 1985: 78). Dalam pandangan Liesbeth Hasselink
                (2011: 208) pada umumnya,  kaum priyayi  memiliki  karakter  sebagai
                administrator pemerintahan. Oleh karena itu, mereka akan menyekolahkan
                anak laki-lakinya ke Osvia, bukan ke Stovia. Secara pragmatis, sebagai
                administrator pemerintahan, priyayi memiliki tanggung jawab, yang di
                dalamnya melekat faktor kekuasaan. Sementara itu, seorang dokter tidak
                memiliki tanggung jawab di birokrasi dan memiliki karakter tunduk atas
                perintah.  Dalam  perspektif  inilah,  pilihan  ke  Osvia menjadi  “sebuah


            122     Tiga Serangkai Dalam Pergerakan Nasional
   117   118   119   120   121   122   123   124   125   126   127