Page 95 - Pemikiran Agraria Bulaksumur Telaah Awal atas Pemikiran Sartono Kartodirdjo Masri Singaarimbun dan Mubyarto
P. 95

Pemikiran Agraria Bulaksumur
            de ini mampu menempatkan masyarakat pada posisi partisipan/
            pelaku aktif. Bagaimana misalnya masyarakat berkisah tentang
            dirinya sendiri, memberi makna pada “peta sosialnya” berdasar-
            kan benda-benda yang ada dan hadir dalam memori kolektif
            mereka: pada pohon-pohon besar, rumah tua, sungai jembatan,
            deretan warung, tempat “nongkrong” yang merekam realitas
            (masa lalu dan kini) akan jalinan sosial, ekonomi, perebutan
            kekuasaan antar penghuni dalam masyarakat yang didiaminya.
                Dalam pengalaman Kunci Culture Studies dengan proyek
            “Kampung Juminahan”, Cemeti Art House dengan rangkaian
            program “Masa Lalu Masa Lupa”, Syarikat Indonesia dengan
            fokus kajiannya terhadap “sejarah kekerasan pasca 65” dan ber-
            bagai komunitas (di Yogyakarta dan di berbagai kota lainnya),
            memproduksi sejarah oleh masyarakat sendiri bukanlah hal yang
            tidak mungkin dilakukan. Sejarawan profesional barangkali akan
            tercengang sendiri melihat kemampuan masyarakat memroduksi
            pengetahuan sejarah dan cara bagaimana mereka menghasilkan-
            nya. (Menurut Kuntowijoyo, sejarawan adalah mereka yang
                                                68
            menulis sejarah. Titik. Apapun profesinya! ).
                Jika kedua belah pihak berangkat dari motif yang sama, yakni
            dalam rangka pendemokratisan sejarah, sejarah sebagai kritik
            sosial, dan setiap orang berhak mengartikulasikan ingatannya,
            maka upaya kerjasama keduanya tidak sulit dilakukan.
                Dari uraian di atas, “The New History” dan “Deconstructive
            history” bukanlah ancaman yang perlu ditakuti. Beberapa hal
            sebenarnya telah dilakukan oleh oleh para Sejarawan Indonesia
            (Indonesianis). Hanya bagaimana kemudian melanjutkan penu-




                68  Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003, xiii

            76
   90   91   92   93   94   95   96   97   98   99   100