Page 92 - Pemikiran Agraria Bulaksumur Telaah Awal atas Pemikiran Sartono Kartodirdjo Masri Singaarimbun dan Mubyarto
P. 92
Membaca Ulang Sartono Kartodirdjo
actually happened”. Padahal “apa yang benar-benar terjadi”
seperti dalam pandangan positivistik adalah tidak mungkin. Bias
akan selalu ada, baik yang diasosiasikan dengan warna kulit,
keyakinan, kelas, gender, dan sebagainya. “Suara-suara sejarah”
adalah frase yang digunakan dalam Sejarah Baru. Sejarah haruslah
“heteroglossia” yang artinya “suara-suara yang beragam dan
berbeda-beda”.
Dalam pandangan yang lebih terkini, sejarah dekonstruktif
melihat bahwa sejarawan tidak dapat merepresentasikan masa
lalu sebagai sebuah kebenaran adanya. Mereka hanya berperan
melakukan kontrol atas masa lalu itu melalui teori pengetahuan
atau perspektif yang dipilihnya. Dekonstruksi ditandai dengan
hancurnya pembedaan antara object kajian, yakni sejarah, dan
subject-nya, yakni sejarawan dengan segenap kediriannya,
sekaligus leburnya batas antara content (the past), theory, dengan
form (literary form). Ketika kita menulis sejarah, kita men-transcend
dualitas subject-object secara bersamaan. 65
Menurut saya, di Indonesia sejarah dekonstruktif secara ketat
sebagaimana diilhami oleh Derrida dalam Grammatology yang
membawa implikasi bahwa “persoalan sejarah adalah persoalan
kebahasaan”, “bahasalah yang merupakan isi sejarah” sebagai
cerminan dari perspektif kekinian, dan “tidak ada sesuatu di luar
teks”, belumlah dilakukan. Alih-alih, seorang sejarawan justru
mengatakan bahwa sejarah dekonstruktif/postmodernis akan
berakibat sejarawan “tutup buku”, di-PHK, dan jurusan sejarah
dibubarkan. Bahkan secara lebih jauh ia mengatakan “bagi peme-
luk agama Islam meyakini postmodernisme berarti ia telah
65 Alun Munslow, The New History, British: Pearson Longman, 2003;
lihat juga Alun Munslow, Deconstructing History, (New York: Routledge, 1997)
73