Page 115 - TOKOH PEMIKIR KARAKTER BANGSA
P. 115
TOKOH PEMIKIR KARAKTER BANGSA
Selanjutnya pandangan Sutan Takdir tersebut mendapat
tanggapan dari Dr. M Amir melalui esainya yang berjudul
“Menyambut Karangan Sutan Takdir Alisjahbana”. Pembicaraan
masih berfokus pada isu seputar kebudayaan dan pembangunan.
Namun kali ini yang menjadi fokus adalah persoalan mengenai “roh”
budaya apa yang kiranya harus dijadikan dasar pijakan dalam
pembangunan. Karena itu di awal karangannya Dr. M. Amir
mempertanyakan mengenai dasar “roh” apa yang sekiranya dijadikan
pijakan untuk pembangunan. Apakah roh Budha, roh Islam, Barat dan
lain sebagainya. Sebenarnya Sutan Takdir tidak merasa terlalu
menarik dalam polemik ini. Ia mengagap bahwa perbincangan
tersebut tidak memenuhi syarat-syarat polemik, yakni konsistensi
dari sang pembicara, karena Sutan sendiri menganggap bahwa Dr. M
Amir tidak konsisten. Yang penting dari pembicaraan ini adalah
penjelasan mengenai “roh” yang harus digunakan dalam
menyongsong pembangunan. Pembangunan tidak hanya meniru,
karena dari meniru inilah yang kemudian membuat sebeuah bangsa
malah terpuruk. Terkait hal ini Sutan Takdir menulis:
Siapa yang mengikuti karangan saya sejak awal, baginya akan jelas
bahwa saya tidak pernah mempersoalkan tentang asimilasi atau
meniru itu. Di mana-mana, sampai dalam roman Layar Terkembang,
saya terang-terangan menyerang orang yang meniru. Di sini, sikap
itu hendak saya jelaskan lagi: meniru senantiasa salah, malah
meniru nenek moyang pun tidak kurang salahnya. Jatuhnya bangsa
tidak lain disebabkan oleh semangat meniru itu. Saya kagum akan
pepatah, paribahasa, kata adat Minangkabau, tetapi geli rasanya
hati saya mendengar dan melihat orang yang tak puas-puasnya
melahap semua isi pidato dan karangannya. Maka dari getaran
jantung yang hidup sekalian buah kesusastraan yang permai itu
menjadi kerenyotan bibir. Hal ini berlaku dalam ranah kebudayan,
orisinalitas, keaslian pikiran dan perasaan tidak ada serambutan
sehingga dalam beratus-ratus tahun
103