Page 184 - Kumpulan CerPen-by Suci Harjono
P. 184
itu hanya sampai di telingga pembantunya Bu Gito. Tak lama langsung
menyebar dari mulut ke mulut. Cepat sekali persis seperti virus.
Sejak peristiwa saat itu, setiap ketemu Bu Tulus di depan rumah,
entah mengapa sikapnya tidak ramah. Bu Tulus terkesan berusaha
menghindar.
Teriakan, keributan dan suara barang pecah dari rumah sebelah sudah
tidak terdengar lagi. Ada rasa rindu dengan keributan di sebelah, tetapi
akhirnya aku lupa sendiri.
**
Tiga bulan kemudian
Tok..tok..tok..
“Ma, Pa, ada tamu,” lapor Dinda pagi itu.
“Siapa?” tanyaku heran.
“Keluarga Bu Tulus,” jawab Dinda.
Kami saling berpandangan. Mas Thamrin mengangkat bahu.
Di ruang tamu kulihat Pak Tulus, Bu Tulus dan seorang anak
laki-laki yang duduk dikursi roda. Baru kali ini aku melihatnya. Seorang
remaja berkulit putih pucat dengan mata cekung dan muka muram.
Tatapan matanya kosong. Tak ada sinar kehidupan. Wajahnya persis
dengan anak yang mempunyai kelainan. Tiba-tiba hatiku dirambati
keharuan dan rasa prihatin yang mendalam. Seandainya kulitnya tidak
sepucat itu dan matanya bersinar dipenuhi cahaya kehidupan, alangkah
tampannya remaja itu, batinku.
“Maaf, Pak, Bu. Kami bermaksud untuk minta maaf atas kejadian
beberapa bulan yang lalu,” suara Pak Tulus bergetar. “Kami bermaksud
mengenalkan diri sekaligus memperkenalkan anak kami….Dio.”
Aku memandang Mas Thamrin.
“Dio anak bungsu kami. Sejak kecil mempunyai kelainan. Dia
tidak seperti anak lainnya. Sejak lahir Dio menderita kelainan fisik
sekaligus Down Syndrome membuat kami sangat sedih. Kami sering
berpindah tempat tinggal karena tidak ingin ada yang menghina
184 Suatu Malam di Sebuah Jalan_ Suci Harjono_sucihan03@gmail.com