Page 119 - e-modul bh.Indonesia SMPMuh.Rappang9
P. 119

MODUL 2


                                        .
                   “Masya  Allah,  Nduk Perbuatan  itu  ndak  benar.  Jangan  cari  gampangnya!  Ingat
               kampung ini akan dijadikan pusat batik di Semarang. Sebagai warga negara yang baik,
               kita harus ikut menyukseskan program pemerintah.”
                   “Lagian pemerintah juga ndak bakalan tahu kita nyanting atau hanya beli di pasar.
               Toh yang penting tetap batik.” Kusela penjelasan ibu. Dadaku sesak dengan seluruh
               perasaan yang membuncah.

                   “Kita  ndak  boleh  seperti  itu,  Nduk.  Butuh  perjuangan  untuk  melestarikan  batik
               Semarangan. Kampung batik yang sesungguhnya, bukan hanya sekadar kita membeli
               batik  dari  kota  lain  kemudian  menjualnya  di  kampung  ini.  Bukan  juga  karena
               banyaknya  batik  yang  terpampang  di  pelataran  rumah  penduduk.  Tetapi  bagaimana
               setiap penduduk mampu menghasilkan batik dengan cantingnya sendiri.”
                   “Ibu lihat itu Bu Lastri. Dia juga ndak nyanting seperti kita. Tapi buktinya dia hidup
               berkecukupan. Bahkan berlebihan. Lalu apa salahnya kita mengikuti cara pintasnya?”
               Timpalku menahan air mata yang mulai mengambang di pelupuk mataku.
                   Aku  bersimpuh  di  hadapan  ibu.  Wajahku  tertunduk.  Dadaku  semakin  sesak.
               Tenggorokanku tercekat.
                   “Maafkan Kinanti, Bu. Kinanti tidak bisa mewujudkan cita-cita nenek. Kinanti hanya
               akan mengecewakan Ibu. Harapan… harapan itu tak akan pernah jadi nyata.” Tangisku
               pecah. Aku tak kuasa meneruskan ucapanku.
                   “Maksudnya opo tho, Nduk?”    Ibu menyeka airmata yang mulai membanjiri pipiku.
                    “Semua yang Kinanti lihat hampa, Bu. Semua sama di mata Kinanti. Dunia Kinanti
               kelam tak berwarna. Bahkan tumpukan warna kain batik di sudut ruang itu tak dapat

               Kinanti kenali. Kinanti buta warna, Bu,” ujarku tertunduk semakin dalam dengan suara
               bergetar.
                    “Buta  warna,  Nduk?!”  Ibu  terperangah  mendengar  kata-kataku.  Sejenak  hening
               tak  ada  suara.  Kulihat  ibu  menengadahkan  wajahnya,  mencoba  menyembunyikan
               kristal bening yang menggantung di pelupuk mata. Raut wajahnya kian sayu.
                   “Satu  bulan  yang  lalu,  sekolah  Kinanti  mengadakan  seminar  kesehatan.  Acara
               tersebut  ditutup  dengan  pemeriksaan  ishihara7 Petugas  kesehatan  menyodorkan
                                                                    .
               sebuah buku kepada Kinanti. Kinanti tidak bisa membaca angka-angka itu, bahkan

                   Kinanti  tidak  dapat  membedakan  warna  dengan  lingkaran,”  terangku  terbata  di
               sela isak tangis.
                   “Kamu ndak boleh putus asa, Nduk. Kamu masih punya Ibu. Ibu akan menjadi mata

               untukmu.” Dua bulir airmata mulai membasahi pipi ibu. Ibu segera menghapus dengan
               punggung tangannya.
                   “Ibu akan selalu membantumu, Nduk, untuk mewujudkan mimpi-mimpi nenek.” Ibu
               berusaha tersenyum mendengarkanku.
                   “Maafkan Kinanti, Bu. Kinanti khilaf. Hari itu pikiran Kinanti kacau. Kinanti tak tahu
               harus bagaimana lagi. Kinanti takut Ibu sedih jika Ibu tahu Kinanti buta warna. Kinanti




                                                           109
   114   115   116   117   118   119   120   121   122   123   124