Page 117 - e-modul bh.Indonesia SMPMuh.Rappang9
P. 117

MODUL 2


                   “Ora usah repot-repot mbatik.”
               Kutepis  anganku.  Mencoba  mengerjakan  corak  kain  di  hadapanku.  Kulanjutkan
               menggerakkan  cantingku  mengikuti  liuk-liuk  garis.  Tetapi  bayangan-bayangan  itu
               kembali  berkelebat.  Beberapa  helai  uang  ratusan  ribu  nampak  di  pelupuk  mata.
               Otakku  masih  merekam  jelas  saat  Bu  Lastri  mengipas-ngipaskan  uangnya
               memamerkan kepadaku. Ia bercerita sampai berbusa-busa kadang diselingi deraian

               gelak tawa puas. Kata-katanya menggoyahkan tekadku. Hatiku memanas namun aku
               hanya mampu terdiam. Aku sedikit tergoda. Kucoba melawan segala kecamuk di hati.
                   “Lha,  Nduk  kok  malah  ngalamun?  Itu  jadi  salah  kan,  warnanya,”  ujar  ibu
               mengagetkanku.
                   “Eh....”  Aku  terkesiap.  Lamunanku  buyar.  Kulihat  ibu  sedang  mengamatiku  dari
               ujung ruangan sambil merapikan kain-kain bercorak naturalis khas Semarangan.
                   “Ana opo tho, Nduk? Apa yang sedang kamu pikirkan?” selidik ibu.
                   “Mboten wonten napa-napa, Bu,” balasku tergagap.
                   “Yo  wis,  segera  teruskan  mbatiknya Pak  Hadiwijaya  sudah  menanyakan  terus,
                                                          .
               kapan batiknya mau diantar. Kasihan tho, Nduk, kalau beliau nunggu lama. Apa sini,
               biar Ibu yang meneruskan?”    tawar ibu hendak membantuku.
                   “Assalamu’alaikum.”
                   “Waalaikumsalam. Akhirnya kau datang ke sini juga.” Wanita dengan riasan tebal
               datang  tergopoh-gopoh  menyambutku.  Gemerincing  gelang  emas  di  tangan
               mengiringi  langkahnya.  Lilitan  kalung  di  lehernya  menambah  kesan  ramai
               penampilannya.

                   “Bu, ini uangnya.” Kusodorkan beberapa lembar uang ratusan ribu dengan tangan
               bergetar. Ia menyambarnya dengan sigap.
                   “Dari kemarin Ibu sudah menyiapkan barang yang kamu pesan.  Pokoknya kamu
               ndak bakalan rugi,” rayunya.
               “Nggih,  Bu,  saya  pamit  dulu.”  Kumasukkan  bungkusan  hitam  dengan  tergesa-gesa.
               Segera kubalikkan badanku bergegas pulang menuju rumah. Masih kudengar teriakan
               Bu Lastri mengiringi langkahku.
                   “Kinanti, jangan kapok ya. Besok mampir ke tempat Ibu lagi!”
                   Tak  kuhiraukan  seruan  Bu  Lastri.  Kupercepat  derap  langkahku.  Entah  mengapa
               aku ingin segera sampai di rumah.
                   Seketika  langkahku  terhenti  menyaksikan  pemandangan  di  depanku.  Seorang
               lelaki bersetelan jas menudingkan jarinya tepat di hadapan ibu. Raut mukanya garang.

               Kuambil langkah tergesa menyingkir dari tempatku berdiri. Mataku menyipit berusaha
               mengenali sosok di hadapan ibu. Kurapatkan tubuhku pada tembok rumah tetangga
               agar tak terlihat untuk menguping pembicaraan mereka.
                   “Ibu ini bagaimana? Batik macam apa ini?!” hardik lelaki berpakaian necis itu.
                   Dahiku  berkerut,  mencoba  memahami  apa  yang  baru  saja  dikatakan  oleh  lelaki
               berbadan tegap.




                                                           107
   112   113   114   115   116   117   118   119   120   121   122